Bersahabat dengan Ketidakpastian

oleh Shafira Deiktya Emte

Kita sudah memasuki pekan ketiga Januari 2022. Bagaimana rasanya, Kerabat Nara? Apakah Kerabat Nara menjalankan resolusi tahun baru dengan konsisten atau perlahan-lahan sudah melupakannya? Apa pun itu, ingatlah selalu bahwa yang terpenting hari ini Kerabat Nara masih diberikan waktu mengembuskan napas, bergerak, dan membaca nawala ini.

Waktu berjalan dengan lambat bagi sebagian orang, tetapi terasa cepat bagi sebagian yang lain. Saya termasuk kelompok yang terakhir. Semalam, saya duduk termenung di depan cermin. Saya perhatikan diri sendiri dari atas sampai bawah. Saya coba menatap pantulan mata saya dan mencari jawaban akan pertanyaan-pertanyaan berulang yang muncul dari kepala: “Apa yang saya cari?”, “Bagaimana jika saya tidak pernah bisa menemukan apa yang benar-benar saya inginkan?”, “Bagaimana jika semua yang saya yakini hari ini ternyata bukanlah kebenaran, melainkan sebuah kebohongan besar?”, “Bagaimana bisa seseorang selalu meminta kepastian, padahal tidak ada yang benar-benar pasti di dunia ini?”, dan, yang cukup mengganggu, “Bagaimana saya dapat merasa tetap hidup ketika alasan untuk hidup itu sendiri terasa tidak meyakinkan?”.

Saya menghela napas panjang, mencoba menghentikan rentetan pertanyaan yang akan terus bertambah jika dibiarkan karena satu jawabannya saja sulit untuk ditemukan. Saya kemudian bergerak menuju rak buku, menyentuh satu demi satu isinya. Sebagian sudah lama saya baca, sebagian baru selesai, dan sebagian belum terbuka sampulnya. Tangan saya pun berhenti pada sebuah buku yang berjudul On Liberty karya J.S. Mill—seorang filsuf berkebangsaan Inggris yang juga merupakan mantan anggota parlemen Britania Raya. 

Kalau tidak salah, saya sudah pernah membaca buku itu. Ketika menyisir daftar isi, saya terpikat pada nama Prof. Dr. Alex Lanur, OFM. Saya menyadari bahwa saya belum pernah membaca kata pengantarnya. Hati saya pun tergelitik untuk membaca bagian tersebut.

Tidak ada yang spesial dari kata pengantar itu hingga lembar terakhir. Bagian itu ditutup dengan baris kalimat “Dialog selalu bermanfaat. Sebab kebenaran yang betul-betul benar selalu bersifat dialogal (dialogis). Orang selalu dapat belajar baik dari kekeliruan dan kebodohan maupun dari kebenaran dan kepandaian orang lain ….”

Saya termenung sesaat. Kutipan itu ada benarnya. Setidaknya, meski masih belum menemukan jawaban akan berbagai pertanyaan tak berkesudahan yang hadir dalam hidup ini, kita dapat terus belajar dari orang lain. Kita dapat terus menimba ilmu dalam bentuk apa pun dari orang lain. Kita dapat terus berdiskusi agar diri terus diasah dan dibina olehnya. Kita dapat terus belajar. Siapa tahu, pembelajaran itu dapat menuntun kita ke jalan terang benderang yang selama ini kita cari. 

Untuk menutup tulisan ini, bolehlah saya berbagi sedikit ladang pembelajaran yang mungkin Kerabat Nara butuhkan untuk mengisi atau melengkapi corong diri. Pada akhir Januari 2022 ini, Narabahasa akan melaksanakan kembali Kelas Daring Praktis (KDP) yang dibuka dengan kelas Kiat Menulis Konten Media Sosial pada 24 Januari, Kiat Menulis Wara (Copywriting) pada 25 Januari, dan  Kiat Menyusun Mikrokopi UI/UX pada 31 Januari. Ada pula Kelas Daring Singkat (KDS) Langkah Sukses Melamar Kerja sebelum Melamar Dia pada 26 Januari. Untuk selengkapnya, Kerabat Nara dapat segera mengunjungi laman sinara.narabahasa.id

Akhir kata, selamat menjalani hari-hari yang penuh ketidakpastian, Kerabat Nara. Layaknya J.S. Mill yang berusaha menemukan titik tengah antara kebebasan dan kekuasaan, ingatlah kita juga harus selalu berusaha menemukan titik tengah antara ketidakpastian dan kebahagiaan—salah satunya adalah dengan terus belajar, belajar, dan belajar.

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar