Bahasamu, Harimaumu

oleh Yudhistira

Mulut kamu, harimau kamu adalah sebuah peribahasa. Artinya ‘keselamatan dan harga diri kita bergantung pada perkataan kita sendiri’. Dengan demikian, keselamatan dan harga diri seseorang pun tidak terlepas dari bahasa yang ia gunakan.

Seperti yang kita ketahui, internet selalu bisa menjadi gelanggang pertengkaran. Lewat bahasa, kini warganet mudah sekali melontarkan ujaran kebencian. Coba buka saja salah satu kiriman di Instagram yang membuahkan banyak komentar. Kemungkinan besar, ada warganet yang saling berbalas lewat nada penuh sindir. Mari beralih ke Twitter, media sosial yang setiap hari acap ramai dengan pembahasan baru. Di sana, banyak orang yang tidak ragu untuk meluangkan waktu demi bergontokan. Bahkan, tinju-meninju secara langsung pernah digelar lantaran duel di lini masa ruang maya tidak memuaskan kedua warganet. Dari mata turun ke hati, dari jari menjadi jab kiri.

Bahasa memang alat pemersatu, baik secara politis maupun sekadar pemahaman dalam proses komunikasi. Namun, di lain sisi, bahasa pun bisa memecah belah, memicu pertengkaran, atau mempropagandakan sesuatu. Jika sudah sampai pada tahap ini, saya rasa, mulut kamu, harimau kamu tidak hanya bertekanan pada keselamatan serta harga diri kita sebagai penuturnya. Lebih dari itu, pada sisi tergelap, harimau ini atau bahasa kita adalah instrumen yang berimplikasi negatif bagi orang lain.

Contoh, ada sepasang kekasih yang sedang melaju dengan sepeda motor. Sang lelaki menjadi juru kemudi dan sang perempuan sebagai pembonceng. Di jalan, motor itu mogok. Perempuan berkata, “Duh! Motornya selalu mogok, deh!” Merasa kesal dengan ucapan itu, si laki-laki membalas, “Kamu, nih, ya, enggak pernah dengerin aku. Kan aku bilang kemarin, kalau motornya mogok, jangan marah-marah karena memang belum diservis!” Percekcokan berlanjut. Si laki-laki kesal karena motornya dianggap selalu mogok. Iya, sering, tetapi tidak selalu. Begitu dia membatin. Sebaliknya, si perempuan jengkel karena dibilang tidak pernah mendengarkan pasangannya. Jarang bukan berarti tidak pernah. Demikian dia merenung.

Tanpa disengaja, pilihan kata atau frasa dan nada ujaran berpotensi menyakiti hati orang lain. Jangankan di kehidupan nyata, diksi selalu dan frasa tidak pernah pun sering kali digunakan seenaknya di jagat maya. Tidak jarang, orang-orang bertengkar karenanya. Di mata penutur, bahasa yang dilontarkan mungkin saja tampak seperti kucing yang lugu, manis mengeong. Namun, di mata petutur, ia bisa menjelma harimau yang ganas, mengaum dan siap menerkam.

Dulu, saya akan menyalahkan si petutur yang salah menangkap maksud tulisan atau perkataan saya. Lama-kelamaan, saya justru bertanya-tanya, jangan-jangan memang bahasa saya yang tidak tepat. Saya lantas belajar untuk menyabarkan diri. Dalam membalas pesan atau ujaran langsung, saya akan menata kata-kata terbaik dalam benak saya. Jika saya masih merasa ofensif setelah kata-kata itu dituliskan atau diucapkan, saya bakal buru-buru merevisinya. Bahkan, jika harus, saya akan menghapus kiriman atau mengeja kata maaf kepada lawan bicara. 

Apakah saya berlebihan? Ah, saya rasa tidak. Sebagai seorang yang setiap harinya bergumul dengan bahasa, saya tidak mau bahasa saya menyakiti orang-orang terdekat. Pada akhirnya, bahasa sebagai harimau bukan saja menjadi faktor penting bagi keselamatan dan harga diri penutur. Di luar itu, harimau tersebut bisa mencengkam orang lain. Namun, kita punya pilihan untuk menjinakkannya. 

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar