Asing di Negeri Sendiri

oleh Dessy Irawan

Perjalanan dari Sentul sampai dengan Jakarta pagi ini memberi kesan yang berbeda. Satu per satu penamaan gedung, jalan, atau bahkan spanduk yang terpampang di ruang publik menyita perhatian dan pikiran saya. Saya menjadi lewah pikir (overthink) akibat paparan Bu Multamia pada program Lisan Narabahasa pekan lalu. Ada satu percakapan kami yang masih membekas di ingatan saya. Beginilah kira-kira.

“Misalnya Dessy jalan-jalan ke Jepang atau ke Rusia, kalau semua penamaannya bahasa Inggris, seru nggak?”

Saya spontan menjawab, “Nggak, sih.”

Nggak karena kita ingin yang unik. Yang unik dari Jepang, ya, tulisan Jepangnya, lalu kita selfie-selfie, ‘Ini aku di Jepang, lo’. Kalau ke Rusia juga gitu,” jelas Bu Multamia. 

Beliau lanjut menjabarkan–dan menyadarkan, “Nah, sekarang, kalau ada orang asing datang ke Indonesia, semua penamaannya dominan bahasa Inggris, terus orang itu mikir, ‘Ini saya di Indonesia atau di negara mana, ya?’. Jadi, yang namanya identitas bangsa itu nggak muncul. Ini kelihatannya masalah sepele, cuma perkara nama, tetapi ini berkaitan dengan masalah identitas dan kontestasi kekuasaan.” 

Selaras dengan paparan Bu Multamia, sebenarnya Undang-Undang Nomor 24/2009 sudah mengamanatkan perihal penamaan geografi. Belum lama, pada 2019, Presiden RI pun sudah menandatangani Perpres 63/2019. Dalam aturan-aturan tersebut, tertulis jelas bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia, atau badan hukum Indonesia. 

Alih-alih mengutamakan prinsip komunikasi global, kita lantas menomorduakan bahasa nasional. Bahasa Indonesia hanya perlu diutamakan, kok. Ia tidak meminta dijadikan satu-satunya. Ia paham betul bahwa keberadaannya di negeri ini berdampingan dengan bahasa daerah dan bahasa asing. Di ruang publik, seperti bandar udara, petunjuk jalan dengan bahasa asing jelas diperlukan untuk memudahkan warga negara lain yang berkunjung ke negeri kita. Misal, ada papan petunjuk keluar, penyisipan bahasa Inggris exit pun diperbolehkan dengan syarat ukuran hurufnya tidak lebih besar daripada ukuran huruf keluar

Demikian hasil lewah pikir saya hari ini. Saya akan mengakhiri tulisan ini dengan pertanyaan: pernahkah Kerabat Nara merasa asing di negeri sendiri? Jika belum, marilah berkeliling ibu kota dan mampir sebentar ke pusat-pusat perbelanjaannya. 

Salam,

Dessy Irawan

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar