Kerabat Nara yang aktif berselancar di Twitter pasti tidak asing dengan istilah petrus jakendor (pepet terus jangan kasih kendor) atau versi lengkapnya petrus sihombing samyang jakendor jumanji (pepet terus sampai hati terombang-ambing sampai sayang jangan kasih kendor juancok mantap jiwa) atau versi yang sangat lengkapnya memanggil petrus sihombing hutabarat samyang jakendor memantul terbang jumanji (memang mantap gila pepet terus sampai hati terombang-ambing hubungan bertambah berat sampai sayang memang mantap betul teruskan bambang jangan kasih kendor juancok mantap jiwa). Istilah itu kerap menghiasi beranda Twitter, terutama jika terdapat benih-benih cinta yang sedang berjuang. Biasanya, warganet akan menyemangati usaha tersebut dengan menuliskan istilah petrus jakendor.

Istilah petrus jakendor dan versi lengkapnya dikenal sebagai proses abreviasi atau pemendekan dalam bahasa Indonesia. Pada dasarnya, penutur bahasa Indonesia memang memiliki ribuan bentuk kependekan dalam perbendaharaan katanya. Harimurti Kridalaksana dalam Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia (2010: 159) mengatakan bahwa bentuk kependekan itu sering berasosiasi dengan kata atau frasa lain karena pemakai bahasa ingin membentuk kependekan yang mirip sekurang-kurangnya dalam bentuk bunyi dengan bentuk lain.

Proses abreviasi di media sosial kerap terjadi secara alamiah dan dibuat berdasarkan kreativitas warganet. Jenis abreviasi yang paling dominan ditemukan di media sosial, terutama di Twitter, adalah akronim—atau Kridalaksana (2020: 162—163) menyebutnya sebagai kontraksi. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V, akronim adalah singkatan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar. 

Bentuk kependekan dalam bahasa Indonesia muncul karena terdesak oleh kebutuhan untuk berbahasa secara praktis dan cepat (Kridalaksana, 2010: 161). Kebutuhan itu awalnya muncul pada bidang-bidang teknis, seperti cabang-cabang ilmu, kepanduan, angkatan bersenjata, dan kemudian menjalar ke bahasa sehari-hari. Dalam media sosial, terutama Twitter, yang memiliki keterbatasan jumlah kata untuk dituliskan, penggunaan abreviasi dalam bentuk akronim tentu sangat efektif menunjang percakapan warganet. Bayangkan saja, 24 kata dapat dihemat menjadi sembilan kata dengan penggunaan akronim pada kasus memanggil petrus sihombing hutabarat samyang jakendor memantul terbang jumanji. Selain petrus jakendor dan versi lengkapnya, abreviasi lain yang kerap digunakan warganet di antaranya adalah andilaw (antara dilema dan galau), ababil (anak baru gede labil), markicob (mari kita coba), jibang (jijik banget), pelangi (pelan-pelan ngilang), salting (salah tingkah), hingga jones (jomlo ngenes). 

Penerapan akronim bahasa Indonesia oleh warganet menunjukkan bahwa pada dasarnya bahasa memang milik masyarakat. Penambahan kosakata dalam kamus pun akan sangat bergantung pada pemakaian kata atau istilah yang beredar di masyarakat. Dengan fakta itu, tentu bukanlah hal mustahil bahwa pada suatu hari nanti istilah-istilah yang bermunculan di media sosial tersebut dicatat dalam kamus besar kita. Semuanya ada di tangan kita, pengguna bahasa. Makin sering suatu kata digunakan, kemungkinan ia didokumentasikan dalam kamus pun akan makin besar. 

Penulis: Shafira Deiktya 

Penyunting: Ivan Lanin