Beberapa waktu yang lalu, Wawan Wardiana selaku Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK menyebut bahwa koruptor pantas disebut sebagai penyintas. Menurutnya, seorang narapidana kasus korupsi mendapatkan pelajaran yang berharga setelah melewati proses hukum. Hal ini lantas menuai kontroversi. Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zaenur Rohman, mengatakan bahwa KPK telah melecehkan pengertian penyintas.

Penyintas mengartikan ‘seseorang yang mampu bertahan hidup’. Kata dasarnya adalah sintas, adjektiva yang bermakna ‘terus bertahan hidup, mampu mempertahankan keberadaannya’. Kata ini diduga dicetuskan oleh Mien Achmad Rifai—ahli biologi yang aktif dalam pengindonesiaan istilah asingsebagai padanan kata survive. Seiring dengan berjalannya waktu, penyintas telah digunakan untuk mengganti kata korban guna menyorot daya juang seseorang yang tertimpa musibah, mulai dari yang terkena penyakit hingga yang mengalami kekerasan.

Pada lain sisi, koruptor bermakna ‘orang yang melakukan korupsi; orang yang menyelewengkan (menggelapkan) uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) tempat kerjanya’ dan korupsi adalah ‘penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain’. Kita bisa lihat, tidak ada nuansa makna sintas di dalamnya. Mungkin bisa saja seseorang melakukan aksi korupsi untuk bertahan hidup dan mempertahankan keberadaannya. Namun, jika demikian, saya rasa koruptor justru lebih cocok jika disandingkan dengan kata kata maling, yaitu mereka yang mengambil milik orang lain secara sembunyi-sembunyi.

Pada 2016, Dahnil Anzar Simanjuntak, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah periode 2014–2018, mengajukan usulan untuk mengganti kata koruptor dengan maling. Dia juga menambahkan bahwa dengan menggunakan sebutan maling, masyarakat dapat langsung mengerti perbuatan buruk yang dilakukan oleh koruptor. Setahun setelahnya, Remotivi menawarkan sebuah perlawanan. Dalam “Kepada Wartawan: Kenapa Tak Panggil Koruptor Maling Saja?”, tertulis “Kepada Anda wartawan, usulan ini adalah sebuah tawaran. Tawaran yang mengikhtiarkan sebuah perlawanan serius terhadap korupsi. Kemudian, beberapa hari yang lalu, Wisnu Nugroho menerbitkan satu tulisan berjudul “Komplotan Lima Maling yang Dipimpin Seorang Menteri”. Lebih dari itu, 170 media di bawah payung Pikiran Rakyat Media Network (PRMN) sepakat untuk mengganti istilah koruptor menjadi maling, rampok, atau garong uang rakyat.

Sebuah kata dapat mengalami perluasan makna. Muis dkk. dalam Perluasan Makna Kata dan Istilah dalam Bahasa Indonesia (2010) menyatakan bahwa perluasan makna tidak terlepas dari fenomena sosial dan budaya. Hal ini pula yang terjadi pada kata koruptor. KPK berupaya untuk membubuhkan makna positif, mengameliorasi kata koruptor. Namun, sebagian besar masyarakat dan sejumlah media bertindak sebaliknya, yakni mengupayakan peyorasi sebagai bentuk kemarahan. Untuk kasus ini, barangkali kita bisa kembali pada kenyataan seperti yang dikatakan Zaenur Rohman: “Yang bertahan hidup bukan koruptornya. Tetapi masyarakat luas sebagai pihak yang dirugikan akibat korupsi.”

 

#korupsi #penyintas #maling #makna

Rujukan:

 

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin