“Artikel-artikelnya sangat edukatif meskipun ada sebagian yang berat,” ucap seorang teman pada beberapa hari lalu ketika menjelajahi situs web Narabahasa. Menurutnya, salah satu faktor yang membuat artikel-artikel itu terasa berat adalah penggunaan berbagai istilah linguistik yang masih sulit dipahami, seperti derivasi, grafem, konjungsi koordinatif, dan konjungsi subordinatif. Sebagai orang yang tidak berlatar belakang pendidikan linguistik dan baru mencicipi ranah bahasa, ia wajar mengatakan demikian. Jangankan ia, sarjana bidang bahasa pun perlu waktu untuk memahami istilah-istilah tersebut.

Nah, oleh karena itu, kali ini saya coba menyajikan tulisan yang ringan saja, yakni fakta-fakta kebahasaan yang mungkin edukatif atau sekadar rekreatif. Kerabat Nara dapat menganggap ini sebagai trivia atau camilan penunda lapar.   

  1. Asal Kata Benur

Berdasarkan data pada Google Trends, kata benur memiliki frekuensi pencarian yang tinggi seiring dengan penangkapan Edhy Prabowo, Menteri Kelautan dan Perikanan, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada November 2020. Ketika itu, hampir semua berita memuat kata tersebut. Benur seolah menjadi santapan harian yang disodorkan oleh berbagai media massa kepada kita. Namun, tahukah Kerabat Nara tentang asal kata benur?

Menurut Samsudin Adlawi dalam tulisannya yang berjudul “Benih Bening Lobster, Benur”, istilah benur dibuat pada 1965 oleh Hasnan Singodimayan, seorang budayawan asal Banyuwangi yang pernah menjadi petugas teknis di Dinas Perikanan Kabupaten Banyuwangi. Istilah tersebut diciptakannya karena ketiadaan penyebutan untuk anak udang.

Benur adalah akronim dari benih urang. Urang bermakna ‘udang’ dalam bahasa Osing dan Jawa. 

  1. Kemunculan Kata Gaul

Ketika saya beranjak remaja, ada sebuah acara bernama Planet Remaja yang tayang di salah satu stasiun televisi swasta. Acara tersebut memiliki slogan legendaris yang akrab di kalangan anak-anak muda kala itu: “Peace, love, and gaul”. Melalui slogan itu, tidak dapat dimungkiri bahwa Planet Remaja turut memopulerkan kata gaul. Meskipun demikian, kata tersebut sudah muncul jauh sebelum itu.

Adi Budiwiyanto dalam “Bahasa Gaul dalam Perspektif Teori Strukturasi Anthony Giddens” menulis bahwa kata gaul muncul pertama kali pada 1380 dalam naskah Hikayat Amir Hamzah. Kata itu tidak berdiri sendiri. Ia didampingi oleh kata bercampur sehingga menjadi bercampur gaul. Menurut Kamus Dewan Edisi Keempat, bercampur gaul mempunyai makna ‘bergaul, bermesra, bersahabat dengan’.

  1. Peraturan Penggunaan Bahasa Indonesia

Bagaimana suasana Jakarta pada tahun 1970-an? Kerabat Nara tahu? Saya sendiri tidak tahu karena belum lahir. Akan tetapi, melalui sebuah buku, saya menemukan fakta kebahasaan yang terjadi di Jakarta pada era itu.

Buku yang saya maksud adalah Bahasa Indonesia Bahasa Kita: Akan Diganti dengan Bahasa Inggris? (Cet. V, 2010) yang ditulis oleh Ajip Rosidi. Pada halaman ke-72, ia menyatakan bahwa Ali Sadikin, Gubernur Jakarta kala itu, pernah mengeluarkan peraturan tentang penggunaan bahasa Indonesia untuk nama-nama toko beserta keterangan kegiatannya. Aturan tersebut cukup ditaati. Buktinya, bioskop Metropole berubah nama menjadi Megaria. Selain itu, restoran yang semula berbahasa Cina—entah restoran mana yang dimaksud Rosidi—beralih nama menjadi Cahaya Kota.

Fakta tersebut lumayan membuat saya heran karena saya hanya mengenal Metropole, bukan Megaria. Kapankah Megaria kembali menjadi Metropole? Saya belum tahu juga. Kalau menurut Kerabat Nara, mana nama yang lebih bagus: Metropole atau Megaria?

  1. Asal Kata Mantan

Pada detik ini, tepat setelah membaca kata mantan di atas, pikiran Kerabat Nara pasti menghadirkan sesosok yang dahulu pernah begitu mesra. Kata itu membuat Kerabat Nara melakukan perjalanan-waktu imajiner dengan secuil perasaan yang tiba-tiba muncul. Namun, apa daya, itu sudah berlalu. Kerabat Nara tidak perlu bersedih. Mari beranjak dengan mengetahui asal kata mantan

Mantan diusulkan oleh Ahmad Bastari Suan dalam tulisannya pada majalah Pembinaan Bahasa Indonesia tahun 1984 sebagai pengganti kata bekas (‘eks’) yang dianggap kurang pantas dan bernilai rasa rendah. Kata itu berasal dari bahasa Basemah, Komering, dan Rejang dengan makna ‘tidak berfungsi lagi’.

Informasi tersebut saya dapat dari suatu artikel yang berjudul “Dari Manakah Asal dan Makna Kata Mantan?” pada laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Akan tetapi, ketika saya mengaksesnya lagi untuk keperluan tulisan ini, laman itu hanya menyisakan bagian kepala dan kaki situs web. Jika Kerabat Nara penasaran, penjelasan mengenai asal kata mantan masih dapat dibaca pada situs web Kantor Bahasa Bengkulu.

  1. Efisien dan Sangkil

Benarkah kata efisien bermakna sama dengan sangkil? Jika mengacu pada KBBI V daring, makna kedua kata itu bersubstitusi. Singkatnya, iya, maknanya sama. Namun, ada perbedaan pada keduanya.

Jika diperhatikan, makna pada lema efisien digolongkan sebagai adjektiva atau kata sifat. Sementara itu, makna lema sangkil berkelas kata verba atau kata kerja. Hal yang mungkin membuat kita tidak sadar bahwa keduanya berbeda adalah cara penggunaan adjektiva dan verba yang sama-sama dapat didahului kata tidak. Kita dapat mengucapkan tidak efisien dan tidak sangkil tanpa masalah. Lantas, jika demikian, mengapa kelas katanya dibedakan? Entah. Semoga suatu hari para penyusun KBBI dapat menjawabnya.

Itulah lima fakta kebahasaan yang dapat saya sajikan kali ini. Apakah akan ada kelanjutannya? Mungkin saja.

Yang pasti, jika Kerabat Nara mengetahui fakta kebahasaan lainnya, silakan tulis di kolom komentar, ya. Jangan lupa juga untuk menyertakan sumbernya agar kita dapat belajar bersama.

#faktakebahasaan #bahasa #trivia

Penulis: Harrits Rizqi

Penyunting: Ivan Lanin