Penanda dan Petanda Ferdinand de Saussure
Pada 2005, Kridalaksana menulis bahwa bahasa adalah sistem tanda. Bahasa selalu mewakili sesuatu, mulai dari yang berbentuk abstrak hingga konkret. Pasti ada satu kata yang bisa menandakan amarah atau kekecewaan kita. Bahasa dapat menjadi tanda atas perasaan manusia, sesuatu yang niskala. Sebaliknya, bahasa pun menjadi tanda atas benda-benda berwujud, seperti kata pohon yang mewakili sebuah tumbuhan berbatang kayu dan berdaun.
Ketika membicarakan perkembangan linguistik modern, termasuk konsep bahasa sebagai sistem tanda, kita tentu sebaiknya tidak melewatkan nama Ferdinand de Saussure. Ahli bahasa asal Swiss itu lahir pada 26 November 1857 dan meninggal pada 22 Februari 1913. Beliau menyumbang sejumlah gagasan penting mengenai ilmu bahasa. Bahkan, beliau dijuluki sebagai Bapak Linguistik Modern.
Tentang temuan Saussure untuk bahasa sebagai tanda, Zaimar (2014: 11) menegaskan, “Salah satu penemuan Saussure yang terpenting adalah teorinya tentang tanda bahasa.” Di sini, Saussure menggunakan tiga istilah, yakni sign atau tanda, signifier atau penanda, dan signified atau petanda.
Beliau menerangkan bahwa setiap tanda bahasa terdiri atas dua sisi. Sisi pertama disebut imaji bunyi (a sound image) yang berdiri sebagai penanda. Sementara, sisi kedua yang berperan selaku petanda dinamakan konsep. Mudahnya, saat mendengar atau mengucapkan kata laut, kita dapat langsung membayangkan konsep laut di dalam benak: berombak, luas, dalam, dan dekat dengan pantai, misalnya. Kita bisa lihat bahwa penanda memicu petanda. Namun, petanda pun dapat memicu munculnya penanda. Ketika konsep laut sudah terbayang di dalam kepala, kita mampu mengucapkan imaji bunyi l-a-u-t.
Penanda dan petanda berhubungan. Lebih dari itu, perlu digarisbawahi bahwa keduanya memiliki relasi yang arbitrer. Artinya, imaji bunyi dan konsep sebagai tanda bahasa berhubungan secara manasuka atau sewenang-wenang. Dalam bahasa Indonesia, kita menyebut laut untuk merujuk pada sesuatu yang berombak, luas, dalam, dan dekat dengan pantai. Lain halnya dengan bahasa Inggris yang mengenal kata sea. Meskipun imaji bunyinya berbeda, keduanya memiliki petanda yang serupa.
Pandangan beliau mengenai bahasa sebagai tanda dianggap sebagai tonggak perkembangan semiotika. Di luar itu, Ferdinand de Saussure juga mengemukakan temuan-temuan menarik lainnya, seperti konsep parole dan langue, telaah diakronis dan sinkronis, serta hubungan sintagmatis dan paradigmatis. Kita bisa lihat bahwa gagasan-gagasan Saussure mengenai bahasa sering kali dikaji secara dikotomis.
Rujukan:
- Kushartanti dkk. (Ed). 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
- Markoem, Muhadjir. 2017. Semantik dan Pragmatik: Edisi Kedua. Tangerang: Pustaka Mandiri.
- Zaimar, Okke Kusuma Sumantri. 2014. Semiotika dalam Analisis Karya Sastra. Depok: PT Komodo Books.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin
Daftar Tag:
Artikel & Berita Terbaru
- Perbedaan Pantomim dan Mime
- Tabah ke-145 bersama Alfan, Harapan III Duta Bahasa Nasional 2023
- Pelatihan Griyaan untuk DJKI: Belajar Menulis Berita yang Efektif
- Hadapi Tantangan Menyusun Laporan Tahunan bersama Narabahasa
- Tabah ke-144 bersama Luthfi, Harapan II Duta Bahasa Nasional 2023
- Dua Pekan Lagi Bulan Bahasa dan Sastra
- Griyaan Penulisan Wara Narabahasa untuk Kemenkeu
- Tabah ke-143 bersama Arianti, Harapan II Duta Bahasa 2023
- Bagaimana Anak Memperoleh Keterampilan Berbahasa?
- KDP Hadir Kembali: Kerinduan yang Sedikit Terobati
- Kreasi Konten Media Sosial Finalis Dubasnas 2024
- Menelisik Peran Nama pada Tempat melalui Kajian Toponimi