Untungnya, saat berkuliah, saya dididik untuk menulis berdasarkan teori. Saya mesti objektif dan mengesampingkan rasa. Bumbu-bumbu seperti pendapat pribadi yang berdasarkan perasaan pun harus bisa dipertanggungjawabkan dengan landasan pemikiran yang kuat.

Sebenarnya, agak nekat ketika saya berniat menguraikan makna kata “terserah” dalam tulisan ini, sementara diri saya sendiri pun sering melontarkannya. Bahaya, jika saya terlalu larut dengan keberpihakan saya terhadap kaum hawa. Akan tetapi, saya akan mencoba menguraikan makna satu kata paling misterius ini dengan cara yang paling rasional. Jika pada akhir tulisan, muncul kesan bahwa saya tidak objektif, ya, terserah.

Terserah

Saya akan mulai dengan contoh yang paling sering menjadi bahan kelakar banyak orang. Bayangkan ada sepasang kekasih yang sedang berselisih paham. Sebut saya mereka Budi dan Mawar. Setelah berjam-jam si Mawar menampilkan raut wajah paling muram, si Budi akhirnya bertanya, “Jadi, aku harus gimana?”  Lalu, si Mawar—masih dengan rautnya yang semakin muram—menjawab, “TERSERAH.”

Barangkali gambaran di atas terlalu lebai. Itu romantika muda-mudi yang kelewat sentimental. Mengapa demikian? Karena seharusnya menjalin hubungan itu membahagiakan, bukan malah sebaliknya yang membingungkan. Apalagi harus berselisih paham selama berjam-jam. He-he-he. Semoga tulisan ini tidak berubah haluan menjadi nasihat percintaan. 

Dalam ilmu linguistik, terdapat kajian tentang pertuturan yang diberi nama pragmatika. Tindak tutur melekat pada setiap proses komunikasi apa pun. Teori tindak tutur ini diperkenalkan oleh seorang ahli bernama J.L. Austin. Austin (1962) menyatakan bahwa pada dasarnya saat seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan sesuatu. Hal ini yang kemudian mendasari lahirnya teori tindak tutur. 

Tindak tutur pun berkaitan erat dengan peristiwa tutur. Pada dasarnya, peristiwa tutur ini merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur yang mengandung tujuan. Dengan demikian, peristiwa tutur merupakan gejala sosial, sementara tindak tutur merupakan gejala individual. Kembali pada persoalan Budi dan Mawar, konteks percakapan muda-mudi yang sedang berselisih paham tersebut merupakan sebuah peristiwa tutur. Tiap kalimat yang diucapkan, baik oleh Budi, maupun oleh Mawar, merupakan sebuah tindak tutur.

Menurut Austin, setiap kali seseorang bertutur, seseorang tersebut melakukan tiga jenis tindakan secara bersamaan, yaitu tindak lokusi (locutionary acts), tindak ilokusi (illocutionary acts), dan tindak perlokusi (perlocutionary acts). Pertama, jika si penutur berniat mengutarakan sesuatu yang pasti secara langsung, tanpa ada keharusan bagi si mitra tutur untuk melaksanakan isi tuturannya, niatannya disebut tindak tutur lokusi. Kedua, jika si penutur berniat mengutarakan sesuatu secara langsung, dengan menggunakan suatu daya yang khas, yang membuat mitra tuturnya bertindak sesuai dengan apa yang dituturkannya, niatannya disebut tindak tutur ilokusi. Ketiga, jika si penutur berniat menimbulkan respons atau efek tertentu kepada mitra tuturnya, respons dari niatannya disebut tindak tutur perlokusi. Dengan demikian, lokusi dan ilokusi lebih menekankan pada peranan tindakan si penutur, tindak perlokusi justru lebih menekankan pada bagaimana respons si mitra tutur. Perlokusi inilah yang menurut Austin berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai pemengaruh pikiran dan perasaan manusia.

Nah, berbekal teori jenis tindak tutur yang dikemukakan Austin, mari kita bedah satu kata “terserah” yang terlontar oleh si Mawar.

Terserah sebagai Tindak Lokusi

Tindak lokusi adalah tindak tutur yang mengandung makna literal. Kata “terserah” tersebut dapat dimaknai sama persis dengan definisi entri “terserah” dalam KBBI

ter.se.rah

v sudah diserahkan (kepada); pulang maklum (kepada); tinggal bergantung (kepada)

Jika “terserah” yang dilontarkan si Mawar merupakan tindak lokusi, si Budi hanya perlu mengikuti kata hatinya sendiri hendak melakukan apa.

Terserah sebagai Tindak Ilokusi

Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang mengandung maksud tertentu. Kandungan maksudnya pun berbeda-beda bergantung pada isi hati si Mawar. Jika “terserah” yang dilontarkan si Mawar merupakan tindak ilokusi, si Mawar mungkin mengisyaratkan agar Budi melakukan apa yang diinginkan oleh si Mawar, misalnya melakukan hal-hal romantis. Dalam artian lain. tindak ilokusi adalah tindak menginginkan sesuatu yang berlawanan dengan tindak menyatakan sesuatu. Tindak inilah yang biasa digunakan oleh kaum hawa, baik disengaja mau pun tidak. Alasannya sederhana, yaitu karena tidak semua kaum hawa mudah menyatakan isi hati secara gamblang.

Terserah sebagai Tindakan Perlokusi

Kelanggengan hubungan Budi dan Mawar ditentukan dari tindakan perlokusi. Tindakan perlokusi adalah respons yang dihasilkan dari tindak tutur lokusi dan ilokusi. Respons tersebut tidak hanya berbentuk kata-kata, tetapi juga berbentuk perbuatan.

Usai si Mawar melontarkan kata “terserah”, respons berupa kata-kata yang mungkin diucapkan si Budi adalah “Aku sayang kamu. Aku janji akan melakukan apa pun yang kamu mau.”. Tidak hanya itu, respons berupa perbuatan yang mungkin dilakukan si Budi adalah memeluk si Mawar, membelikannya bunga, atau membawanya ke tempat yang romantis. 

Barangkali kata “terserah” memang diciptakan agar kaum adam lebih peka dan mendalami pragmatika. Akan tetapi, sebaik apa pun pemahaman kita terhadap teori, tetap saja berselisih paham saat sedang menjalin hubungan adalah ujian paling sulit, apalagi saat sudah muncul kata “terserah”.

Semoga kita semua senantiasa diberi kesehatan akal dan perasaan untuk memahami semua jenis tindak tutur di sekeliling. Amin.

Penulis: Dessy Irawan
Penyunting: Ivan Lanin