Perlukah Kita Mengikuti Peraturan dalam Berpantun?

oleh Yudhistira

Tahun politik makin dekat. Media massa daring dan luring mulai menaikkan berita-berita tentang pemilu, partai, koalisi, dan pandangan atau komentar dari politikus senior. Di tengah agenda dan pertemuan penting antarpolitikus tersebut, pantun dianggap memiliki peran sebagai pencair suasana.

Bunga selasih di perempatan

Rindang daunnya warna kehijauan

Mumpung masih ada kesempatan

Mari bergabung di Koalisi Perubahan

Satu bait di atas diungkapkan oleh Aboe Bakar Al Habsyi, Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS), seusai acara buka puasa bersama yang dihelat oleh Partai Nasdem pada akhir Maret 2023. Dalam bukber itu, hadir pula delegasi dari Partai Demokrat, Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Ternyata, Aboe Bakar memang sering berpantun. Pertanyaan-pertanyaan dari wartawan pun beliau jawab dengan pantun. Ayu Nurfaizah dan Kurnia Yunita Rahayu dalam “Berpantun Ria ala Politisi” (2023) menyatakan sebagai berikut.

“Tak sebatas itu, pantun disebutnya telah menjadi bagian dari kehidupannya. Sudah lama ia terpikat oleh keindahan larik berima dalam pantun. Apalagi setiap kali pantun dilantunkan, ia melihat keceriaan yang tampak dari setiap pendengarnya. Bahkan, tak jarang, di tengah perdebatan alot, pantun kerap digunakannya juga dan mampu melunakkan sikap kukuh dari lawan bicara. Melihat setumpuk kelebihan pantun itu, ia pun tak ragu untuk membentuk tim khusus guna membantunya menyiapkan pantun.”

Agaknya kita sudah cukup sering mendengar politikus berpantun. Selain Aboe Bakar, Muhaimin Iskandar (Partai Kebangkitan Bangsa/PKB) dan Zulkifli Hasan (Partai Amanat Nasional/PAN) juga beberapa kali menyelipkan pantun dalam pidatonya. Pantun-pantun tersebut kerap digunakan untuk mencairkan suasana, tidak terpisahkan dari baris-baris yang mengundang tawa.

Di tengah maraknya penggunaan pantun oleh politikus, saya pikir, kita perlu mengingat kembali bahwa pantun berbeda dengan syair. Keduanya sama-sama tergolong sebagai puisi lama, tetapi mempunyai perbedaan. Syair bersajak a-a-a-a, tersusun atas empat baris dengan rima yang sama. Sementara itu, pantun bersajak a-b-a-b. Terlebih, setiap baris pantun terdiri dari delapan hingga 12 suku kata. Mungkin kita lupa juga bahwa pantun dengan dua baris saja dan bersajak a-a disebut sebagai pantun kilat atau karmina.

Formulasi dan peraturan pantun di atas pernah kita pelajari semasa sekolah. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, prinsip-prinsip tersebut seakan tidak penting lagi. Kita membuat pantun dengan rima a-a-a-a, seperti pantun karya Aboe Bakar Al Habsyi, Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS), di awal tulisan ini. Bahkan, tidak jarang, setiap barisnya lebih dari 12 suku kata.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa hal itu salah adanya. Mungkin, untuk bisa dilestarikan oleh khalayak, pantun perlu terbebas dari peraturan-peraturan yang ada. Pertanyaannya, dapatkah hal itu dilakukan? Jika iya, dari mana kita harus memulainya? Kurikulum sekolah?

Rujukan:

  • Budiman, Manneke, dkk. (Penyunting). 2008. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi). Magelang: Indonesia Tera.
  • Nurfaizah, Ayu & Rahayu, Kurnia Yunita. 2023. “Berpantun Ria ala Politisi”. Kompas.id. Diakses pada 22 Mei 2023. 
  • Salleh, Muhammad Haji. 2011. “Sailing the Archipelago in a boat of rhymes Pantun in the Malay world”. Dalam Jurnal Wacana, Vol. 13 No. 1 (April), hlm. 78—104. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
  • Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar