Gerhana, Mitos, dan Tradisi Lisan
Pada 20 April 2023, masyarakat Indonesia dapat menyaksikan gerhana matahari. Gerhana matahari total tampak pada langit wilayah timur Indonesia. Kecuali di ujung barat Sumatra, masyarakat dapat melihat gerhana matahari sebagian.
Saya menemukan tulisan yang menarik mengenai gerhana. Sekar Gandhawangi (2023) dalam artikelnya menerangkan bahwa “Sebelum dapat dijelaskan secara ilmiah seperti sekarang, [baik] gerhana matahari maupun bulan dipahami manusia dalam bentuk cerita rakyat dan mitos.”
Sebelum fenomena alam, termasuk gerhana, dapat dijelaskan secara ilmiah, masyarakat kita mengartikan gerhana lewat cerita rakyat. Untuk masyarakat Bali dan Bangka, misalnya, gerhana terjadi karena ulah raksasa bernama Rau—sering juga ditulis Rahu dan dikenal sebagai Batara Kala. Sementara itu, di Maluku Utara, sebagian masyarakat memercayai bahwa gerhana terjadi karena matahari yang ditelan oleh seekor naga.
Cerita tentang Rau memiliki banyak versi. Salah satu cerita mengisahkan kandasnya cinta Rau terhadap dewi dambaannya yang membuat Rau mengamuk. Dewa Matahari dan Dewi Bulan mengadukan Rau kepada Dewa Wisnu. Pada akhirnya, Dewa Wisnu menghukum Rau. Kepalanya terlepas dan terjatuh ke telaga suci, sedangkan tubuhnya jatuh ke tanah. Hal ini membuat Rau tetap hidup tanpa tubuh. Dengan bermodalkan kepala saja, Rau naik pitam dan mengejar lalu memakan Dewa Matahari serta Dewi Bulan. Ketika Rau berhasil memakan Dewa Matahari dan Dewi Bulan, gerhana pun terjadi.
Masyarakat di Jawa—menurut Teguh Supriyanto, seorang budayawan sekaligus Guru Besar Sastra Jawa, Universitas Negeri Semarang—“… menghidupkan bunyi-bunyian setiap gerhana dengan (memukul-mukul) lesung atau apa pun agar Kala takut, lalu lari terbirit-birit karena kegaduhan itu.” Di Maluku juga terjadi ritual yang mirip, yakni dolo-dolo atau kentungan yang dipukul-pukul sedemikian rupa agar naga memuntahkan matahari ke langit.
Cerita rakyat merupakan sarana bagi nenek moyang kita untuk memahami fenomena alam. Cerita tersebut diteruskan secara turun-temurun. Esther Lombardi (2019) menyatakan bahwa cerita rakyat sering kali memuat mitos yang berupaya menjawab berbagai misteri di dunia, seperti penciptaan manusia, fenomena supernatural, dan tradisi budaya dengan melibatkan dewa dalam penceritaan yang dramatis. Dapat dikatakan, sebagai bagian dari tradisi lisan, cerita rakyat atau mitos adalah makanan sehari-hari masyarakat terdahulu.
Mungkin, Kerabat Nara bertanya, mengapa mitos bisa dipercaya oleh banyak orang, padahal mereka tidak dapat dibuktikan? Saya juga sempat punya pertanyaan yang serupa, yakni apabila tidak dapat dibuktikan secara ilmiah atau memiliki nilai kebenaran, apakah masyarakat terdahulu dapat bertahan hidup berdasarkan kisah fiktif?
Pertanyaan tersebut, menurut Patrick Nunn, seorang profesor di bidang geografi, adalah pertanyaan yang wajar dilontarkan oleh masyarakat melek huruf: kita. “Banyak orang terpelajar hari ini percaya hal semacam ini (mitos) tidak mungkin atau, paling banter, adalah sebuah anomali, karena mereka mengevaluasi kemampuan masyarakat lisan (atau “pra-melek huruf”) dengan tolok ukur masyarakat terpelajar, yakni ketika informasi tampaknya jauh lebih mudah diakses untuk siapa pun yang mencarinya.”
Mitos adalah kecerdikan leluhur dalam menginterpretasikan gejala alam bahkan mengantisipasi bencana. Cerita-cerita yang memiliki muatan mitos merupakan hasil pengamatan yang disulap semenarik mungkin sehingga dapat diperdengarkan kepada banyak orang. Dengan kata lain, nenek moyang kita sangat mungkin menghadirkan bumbu-bumbu tertentu dalam cerita tersebut. Mitos bukanlah sepenuhnya fiksi, melainkan sebuah tuturan yang mengisyaratkan kenyataan, seperti yang tertulis dalam pengantar buku When They Severed Earth from Sky: How the Human Mind Shapes Myth (2004), yakni “We, however, have been literate so long that we’ve forgotten how myths encode reality.”
Seperti yang saya tulis sebelumnya, tradisi lisan yang mencakup cerita rakyat dengan muatan mitos adalah cara nenek moyang untuk memahami dunia dan melindungi anak cucunya. Terlebih, dalam “Memories within Myth” (2023), Nunn menyiratkan bahwa tradisi lisan merupakan kebiasaan yang melatih masyarakat terdahulu untuk belajar mendengarkan. Pada masa itu, mendengarkan cerita dari tetua bukanlah pilihan, melainkan kewajiban. Dengan begitu, banyak masyarakat dahulu yang terbentuk menjadi pendengar yang baik, bahkan penyimak dan pencerita ulung.
Rujukan:
- Angeline, Mia. 2015. “Mitos dan Budaya”. Dalam Jurnal Humaniora, Vol. 6, No. 2, April, hlm. 190–200. Jakarta: Universitas Bina Nusantara.
- Gandhawangi, Sekar. 2023. “Rupa-rupa Gerhana dalam Balutan Cerita Rakyat”. Kompas.id. Diakses pada 2 Mei 2023.
- Lombardi, Esther. 2019. “The Meaning of Myths, Folklore, Legends, and Fairy Tales”. ThoughtCo. Diakses pada 2 Mei 2023.
- Nunn, Patrick. 2023. “Memories within Myth”. Aeon Media. Diakses pada 2 Mei 2023.
- Wahyudi, Muchamad Zaid. 2023. “Gerhana Matahari Hibrida 20 April 2023 Tiba”. Kompas.id. Diakses pada 2 Mei 2023.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin
Daftar Tag:
Artikel & Berita Terbaru
- Perbedaan Pantomim dan Mime
- Tabah ke-145 bersama Alfan, Harapan III Duta Bahasa Nasional 2023
- Pelatihan Griyaan untuk DJKI: Belajar Menulis Berita yang Efektif
- Hadapi Tantangan Menyusun Laporan Tahunan bersama Narabahasa
- Tabah ke-144 bersama Luthfi, Harapan II Duta Bahasa Nasional 2023
- Dua Pekan Lagi Bulan Bahasa dan Sastra
- Griyaan Penulisan Wara Narabahasa untuk Kemenkeu
- Tabah ke-143 bersama Arianti, Harapan II Duta Bahasa 2023
- Bagaimana Anak Memperoleh Keterampilan Berbahasa?
- KDP Hadir Kembali: Kerinduan yang Sedikit Terobati
- Kreasi Konten Media Sosial Finalis Dubasnas 2024
- Menelisik Peran Nama pada Tempat melalui Kajian Toponimi