Dalam artikel “Penanda dan Petanda Ferdinand de Saussure”, saya menyinggung sedikit bahwa pandangan-pandangan Saussure mengenai kebahasaan sering kali dikaji secara dikotomis. Beliau mengemukakan perbedaan penanda dan petanda. Selain itu, Saussure juga menggagas konsep parole dan langue, kajian diakronis dan sinkronis, serta relasi sintagmatis dan paradigmatis. Konsep dikotomis yang terakhir ini, menurut Zainuddin dalam penelitiannya, membawa pandangan segar bagi bidang penelitian bahasa.
Dalam Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), relasi sintagmatis dan paradigmatis disebut sebagai relasi makna gramatikal. Relasi makna sintagmatis adalah relasi antarmakna kata dalam satu frasa atau kalimat (hubungan horizontal). Sementara itu, relasi makna paradigmatis adalah relasi antarmakna kata yang dapat menduduki gatra sintaksis yang sama dan dapat saling menggantikan dalam satu konteks tertentu (hubungan vertikal). Perhatikan contoh berikut.
1 2 3 4
Saya tinggal di Yogyakarta.
Secara horizontal, setiap kata dalam kalimat tersebut saling berhubungan untuk membentuk makna gramatikal. Relasi inilah yang disebut relasi sintagmatis. Sekarang, coba lihat kalimat berikut.
Saya tinggal di ….
Yogyakarta
Jakarta
Bandung
Makassar
Relasi antara kata Yogyakarta, Jakarta, Bandung, dan Makassar disebut sebagai relasi paradigmatis. Keempatnya dapat menduduki gatra yang sama dan dapat saling menggantikan.
Dua contoh di atas menunjukkan relasi sintagmatis dan paradigmatis dalam tataran sintaksis. Ternyata, relasi ini pun dapat dilihat pada tataran lainnya. Pada tataran fonologi, misalnya, kata kita terdiri atas empat huruf, yakni k, i, t, dan a. Apabila urutan horizontalnya (sintagmatis) diubah, kata tersebut bisa berubah menjadi kiat. Kemudian, kata kita juga dapat berubah berkat adanya relasi paradigmatis seperti contoh berikut.
Kita
Kota
Kata
Kuta
Bagaimana dengan tataran morfologi? Apakah relasi sintagmatis dan paradigmatis dapat juga ditemukan pada tataran tersebut? Abdul Chaer (2007) dalam Zainuddin (2020) mengemukakan bahwa hubungan paradigmatis pada tahapan morfologi dapat terlihat melalui pembubuhan afiks. Kata berlari, contohnya, dapat berubah menjadi berenang, bersosialisasi, dan berkilah. Sementara itu, hubungan sintagmatis bisa terlihat melalui pembentukan kata pemarah. Kata tersebut merupakan nomina yang tercipta dari morfem terikat pe- dan morfem bebas marah. Dalam hal ini, keduanya memiliki hubungan sintagmatis.
Dengan mempelajari relasi sintagmatis dan paradigmatis, kita dapat mengetahui struktur serta sistem dalam tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. Relasi ini mencerminkan fenomena pasangan minimal dan metatesis dalam tataran fonologi, seperti kita dan kota serta kita dan kiat. Kemudian, pada tataran morfologi, relasi sintagmatis dan paradigmatis menunjukkan pola pembentukan kata dan klasifikasi morfem terikat serta morfem bebas. Sementara itu, dalam tataran sintaksis, relasi ini membantu kita dalam memahami pola frasa, klausa, dan makna gramatikal sebuah kalimat.
#sintagmatis #paradigmatis
Rujukan:
- Kushartanti, dkk. (ed). 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
- Ororho, Maureen E.N. 2018. “The Relevance of Paradigmatic and Syntagmatic Relations in Morphology to Language Teaching and Learning”. Dalam Multidisciplinary Journal of Research Development, Vol. 27, No. 1, April, hlm. 13–20.
- Zainuddin. 2020. “Pendekatan Sintagmatik Paradigma dalam Kajian Bahasa”. Dalam Bahas, Vol. 31, No. 3, hlm. 95–111. Medan: Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Universitas Negeri Medan.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin