Pada tulisan “Makna Asosiatif: Biaya dalam Gotong Royong”, saya sudah sedikit menerangkan perkara makna afektif. Makna yang termasuk ke dalam makna asosiatif berdasarkan pemaparan Leech (1985) ini dinilai lebih efektif apabila dikaji dalam ragam lisan. Namun, bukan berarti makna afektif tidak mungkin muncul pada ragam tulisan.

Darmojuwono (2005) berpendapat bahwa makna afektif memiliki peran yang penting dalam penyusunan teks iklan dan kampanye politik. Makna afektif, menurut beliau, berkaitan dengan perasaan seseorang jika mendengar atau membaca kata tertentu. Ada sentuhan konotasi yang kuat dalam pemaknaan secara afektif. Nordquist (2019) pun menambahkan bahwa makna afektif melebihi makna yang ada di dalam kamus dan sifatnya bisa subjektif.

Saya jadi teringat ketika bekerja di kantor periklanan dahulu. Sebagai seorang penulis wara, saya berhadapan dengan klien-klien dari berbagai macam industri. Tidak jarang, mereka meminta saya untuk merevisi tulisan, barang satu hingga dua kata saja.

Contohnya begini, waktu itu saya menulis kalimat Selama 2018, Direksi Perusahaan tidak mengikuti pendidikan dan pelatihan apa pun. Tentu saja, pendidikan dan pelatihan yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah diklat, baik secara internal maupun eksternal, yang diadakan untuk mengasah kemampuan direksi dalam mengelola organisasi. Klien saya tertawa. “Duh, Mas, masa begitu, sih, kata-katanya? Jangan bilang tidak, dong! Kok kesannya kayak kita abai sama pentingnya diklat?” Kira-kira, begitulah catatan dari mereka.

Tentu saja saya mengernyitkan dahi. Mereka minta kata tidak diganti dengan kata belum. Perhatikan perbaikan berikut: Selama 2018, Direksi Perusahaan belum mengikuti pendidikan dan pelatihan apa pun. Lalu saya melihat kalender. Lo, tahun 2018 sudah berakhir waktu itu. Kalau demikian, bukankah kata tidak lebih tepat untuk digunakan? Namun, klien tetap berkukuh dengan pendiriannya. Manajer saya waktu itu pun hanya berkata, “Udah, lah. Ikutin aja dia maunya apa.” Saya manut saja.

Kita bisa lihat, klien saya menekankan kesan pada kalimat tersebut. Saya kira, kesan adalah jejak dari perasaan. Bagi dia, kata tidak menimbulkan kesan yang buruk, mencerminkan ketidakpedulian perusahaan terhadap pentingnya diklat direksi. Makna keseluruhan kalimat pun dia abaikan. Yang terpenting, menurut subjektivitas klien saya itu, kata belum lebih mencerminkan makna afektif yang positif.

Cerita saya di atas hanyalah satu contoh mengenai pentingnya makna afektif dalam penyusunan teks, yakni laporan tahunan perusahaan. Apabila kita merambah pada perumusan teks iklan, saya rasa, setiap kata harus ditulis dengan lebih teliti sebab di sanalah  makna afektif memiliki peran yang signifikan untuk menggugah perasaan pembaca. Bahkan, dalam penyusunan teks iklan kampanye, bukan hanya perasaan pembaca yang menjadi incaran, melainkan juga kepercayaan.

 

Rujukan:

  • Darmojuwono, Setiawati. 2005. “Semantik”. Dalam Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik, diedit oleh Kushartanti, Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder, 118–122. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Leech, Geoffrey. 1985. Semantics: The Study of Meaning (Second Edition). Westminster: Penguin Books.
  • Nordquist, Richard. 2019. “Conceptual Meaning: Definition and Examples”. Diakses pada 14 Juli 2021.

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin