Sat-set-sat-set dan Basa-basi Bahasa
Beberapa waktu yang lalu, muncul sebuah tangkapan layar yang berisi percakapan antara dua orang. Kerabat Nara mungkin sudah tahu begitu membaca judul tulisan ini. Intinya, percakapan tersebut menyiratkan seseorang yang ingin menjalin sebuah hubungan dengan lawan bicaranya tanpa basa-basi. Basa-basi yang dimaksud bisa jadi pendekatan dan kencan pertama demi menciptakan momentum untuk menyatakan cinta. Tangkapan layar tersebut, saya rasa, berangkat dari twit Fiersa Besari: “Saling sayang kok dibikin ribet? Padahal tinggal sat-set-sat-set jadi.”
Respons netizen atas cuitan tersebut membuat saya terbahak-bahak. “Sat-set-sat-set” seolah dijadikan jalan pintas untuk menyatakan cinta. Padahal, mungkin saja Fiersa Besari tidak bermaksud begitu.
Saya jadi berpikir lebih jauh lagi. “Sat-set-sat-set” bisa saja mencerminkan keinginan manusia untuk memiliki apa-apa–atau menjalin apa-apa karena cinta bukan perkara kepemilikan–dengan cara yang praktis. Yang penting intinya. Barangkali, kita juga sering berpikiran seperti itu, yaitu bahwa basa-basi adalah kebiasaan yang mesti disingkirkan. Namun, bukankah terkadang basa-basi merupakan sebuah proses yang ada baiknya dijalani dengan kesadaran penuh, sebuah ruang untuk belajar?
Apabila dikaitkan dengan topik kebahasaan, saya sering kali masih melihat orang berujar, “Yang penting mengerti.” Mempelajari linguistik seakan tidak penting. Saya menduga bahwa ucapan tersebut didorong oleh dua alasan. Pertama, orang tersebut sudah mendalami linguistik sehingga mengerti bahwa bahasa memiliki beragam fungsi, salah satunya sebagai instrumen komunikasi. Kedua, orang tersebut sudah begitu dengki dengan kaidah-kaidah bahasa yang terlalu mengatur. Dengan demikian, kajian-kajian seputar kebahasaan tidak menarik untuk diperhatikan, tidak “sat-set-sat-set”, penuh basa-basi, dan nirguna.
Buat saya, dua pandangan tersebut sah-sah saja, tidak ada yang salah. Toh, sejak dahulu, pendekatan kebahasaan secara preskriptif dan deskriptif memang sudah berdiri di tempatnya masing-masing. Perbedaan pandangan merupakan hal yang lumrah. Kita boleh tidak setuju, tetapi ada baiknya kita tidak saling meremehkan, termasuk memandang rendah mereka yang menilai basa-basi sebagai proses yang penting untuk dilewati.
Bicara soal basa-basi, Narabahasa sedang menyiapkan buku pertama, bertajuk Renjana: Basa-Basi Bahasa. Buku ini mengajak Kerabat Nara untuk berbasa-basi mengenai bahasa, yakni belajar linguistik dari permukaan. Tunggu tanggal terbitnya, ya!
#satsetsatset #renjana #basabasibahasa
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin
Bagaimana tanggapan Kerabat Nara?
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
Artikel & Berita Terbaru
- Bahan Pertimbangan sebelum Mengirim Artikel ke Jurnal
- Bjir dan Bjrot
- Penulisan Infografik yang Mencakup Semua Hal
- Berbahasa Indonesia, Sulit atau Mudah?
- Pola Frasa dalam Bahasa Kita
- Kelas Perdana Penulisan Skenario dalam Produksi Video
- Penulisan Mikrokopi UX yang Ramah Pengguna
- Kiat Penyusunan Dokumen untuk Konsultan Proxsis
- Penyunting yang Tak Sama dengan Penguji Baca
- Mengenal Penulisan Artikel dan Esai Lebih Dalam
- Kiat Lancar Berbicara di Depan Umum ala Suci Patia
- Tanggung Jawab Besar Staf Admin Kantor Perwakilan BEI