Kerabat Nara mungkin pernah menonton film atau membaca buku dan menemukan seorang tokoh yang berbicara sendirian. Iya, saya rasa, sebagian dari kita menyebutnya begitu: berbicara sendiri. Selain itu, beberapa dari kita menggunakan terminologi yang lebih keren, yakni monolog.
Memang, tokoh yang kita saksikan atau kita baca ketika berbicara sendiri dapat dibilang sedang bermonolog. Panuti Sudjiman (1990) dalam Kamus Istilah Sastra mendefinisikan monolog sebagai cakapan tunggal, yakni ‘cakapan panjang yang diucapkan oleh seorang tokoh saja dalam sebuah karya sastra, baik yang ditujukan kepada dirinya sendiri maupun yang ditujukan kepada pembaca atau pendengarnya’. Istilah lain dari monolog adalah ekacakap. Bagus sekali, ya?
Sementara itu, dalam buku yang sama, Sudjiman menjelaskan bahwa solilokui dipakai untuk mengungkapkan perasaan, firasat, konflik batin yang paling dalam dari si tokoh, untuk menyajikan informasi yang diperlukan pembaca atau pendengar’. Sinonim solilokui adalah senandika.
Dalam buku Sudjiman itu, definisi monolog dan solilokui bertumpang tindih. Coba lihat, monolog dapat juga ditujukan kepada diri sendiri, sama seperti solilokui. Hal ini pun turut tercatat dalam KBBI V. Monolog diartikan sebagai ‘pembicaraan yang dilakukan dengan diri sendiri’ dan solilokui adalah ‘cara aktor menyampaikan curahan hati dan keluhan dari tokoh yang diperankan dengan berbicara seorang diri’. Apakah keduanya betul-betul sama?
Saya menemukan satu tulisan yang mungkin bisa sedikit mencerahkan. Pada 2018, Robert Longley menyatakan bahwa monolog tidak ditujukan untuk diri sendiri. Pidato, misalnya, adalah laku monolog. Presentasi tunggal dalam rapat di zaman ini juga barangkali dapat dianggap sebagai monolog.
Di lain sisi, solilokui adalah pernyataan panjang yang khusus dialamatkan kepada diri sendiri. “In simple terms, if other characters can hear and possibly respond to what a character is saying, the speech cannot be a soliloquy,” tulis Longley. Dari penjelasan Longley, bisa dikatakan bahwa monolog dan solilokui memang sama-sama laku berbicara sendiri, tetapi dengan sasaran yang berbeda.
Di luar monolog dan solilokui, ada pula istilah aside. Saya belum menemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Yang jelas, aside cenderung lebih pendek ketimbang solilokui dan monolog. Panjangnya kira-kira satu hingga dua kalimat saja.
Aside dilakukan oleh seorang tokoh yang sedang beradegan dengan tokoh lain. Hanya saja, dia tidak berkata kepada mereka, tetapi kepada penonton. Tokoh lain yang berada dalam adegan tersebut tidak mendengar sebuah aside. Kerabat Nara pernah menonton sebuah film lalu seorang tokoh berpaling dan berbicara kepada kita (penonton) melalui kamera? Itu adalah laku aside.
Rujukan:
- Longley, Robert. 2018. “What Is a Soliloquy? Literary Definition and Examples”. ThoughtCo. Diakses pada 12 Januari 2023.
- Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin