Kena mental, barangkali, merupakan ujaran yang tidak asing lagi untuk kita temukan. Baik dalam percakapan sehari-hari maupun komentar atau cuitan di internet, kena mental kerap digunakan. Konon katanya, ujaran ini sering digunakan oleh pemain gim. “Duh, kena mental gue kalo lawannya dia.” Begitu contohnya. Kena mental lantas merambah dunia media sosial, bahkan media massa. Coba saja tik kena mental di Google, banyak berita yang memuat kena mental dalam judulnya.

Mari kita selidiki arti dari dua kata tersebut secara semantik. Dalam kamus kita, kena sebagai verba punya beberapa arti, yakni (1) ‘bersentuhan (dengan); terantuk (pada)’, (2) ‘tepat pada sasarannya; tidak luput’, (3) ‘tertimpa (oleh); mengalami; menderita (sesuatu); mendapat atau beroleh suatu perbuatan’, (4) ‘tidak bebas dari (aturan, pajak, dan sebagainya)’, dan (5) ‘tepat benar; sesuai benar; cocok; berpatutan (berpaduan); sedang dan patut (tentang pakaian dan sebagainya)’. Sementara itu, mental memaknai ‘bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga’ serta ‘batin dan watak’.

Kita tahu, setiap manusia memiliki batin dan wataknya masing-masing. Dengan kata lain, manusia memiliki mental. Saya rasa, kita pun sama-sama paham bahwa makna kena yang cocok dalam konteks ini adalah makna nomor tiga, yaitu ‘tertimpa (oleh); mengalami; menderita (sesuatu); mendapat atau beroleh suatu perbuatan’.

Makna kena mental, agaknya, dapat dikaitkan dengan gentar. Ada nuansa ketakutan di sana. Terlebih, di luar konteks gim, kena mental bisa pula bertalian dengan keletihan mental (burnout). Namun, apabila diartikan secara denotatif, kena mental adalah ujaran yang tidak masuk akal. Apakah ‘tertimpa (oleh) mental’; ‘mengalami mental’; dan ‘menderita mental’ dapat diterima?

Teman saya pernah berujar, “Duh mental gue kena, nih.” Saya tanya balik, “Kena apa?” Kena serangan, jawabnya. Nah, saya kira kena serangan mental dapat lebih diterima. Atau mungkin, memang itulah ujaran sebenarnya. Hanya saja, karena terlalu panjang, serangan lantas dilesapkan.

Buat saya, ini adalah salah satu fenomena yang menarik. Meskipun gagal memuaskan logika berbahasa kita dalam tataran denotasi, kena mental merupakan ujaran yang mengandung kiasan. Bisa diduga, kena mental adalah bentuk semiidiom.

Harimurti mendefinisikan semiidiom sebagai konstruksi yang salah satu komponennya mengandung makna khas yang ada dalam konstruksi itu saja. Contoh semiidiom adalah jual tampang. Apakah ia masuk akal? Tentu saja tidak karena tampang tidak bisa dibeli dan menjadi milik kita. Contoh lainnya adalah mata kaki. Apakah kaki dapat melihat? Tidak juga.

Tanpa perlu banyak bertanya pun, kena mental dapat dipahami, terlepas dari suka atau tidaknya kita terhadap ujaran tersebut. Barangkali, suatu saat, kena mental akan tercatat dalam KBBI.

 

Rujukan: Kridalaksana, Harimurti. 2010. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

 

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin