Di sudut kamar, saya terdiam dengan kepala yang terus bekerja. Saya mesti menemukan solusi untuk sebuah masalah besar. Namun, masalah tersebut tampaknya sepele bagi oknum yang sedang bercakap dengan saya via WhatsApp. 

Tujuh hari sebelumnya, saya memesan puluhan hamper pada sebuah toko daring. Kepada narahubung toko tersebut, saya tidak hanya memberi tahu jumlah pesanan dan alamat, tetapi juga memberikan teks ucapan untuk kemudian dicetak pada sebuah kartu. 

Selamat Idulfitri 1442 Hijriah. Meski tahun ini kita tidak bisa berhalalbihalal secara langsung, semoga silaturahmi kita tetap terjaga erat.  

Begitulah isi teks yang saya berikan kepada si narahubung toko. Saya tidak memberi penjelasan bahwa Idulfitri sudah mengandung makna ‘hari raya’ sehingga cukup ditulis Idulfitri. Saya pun tidak menjelaskan alasan penulisan Idulfitri, alih-alih Idul Fitri; halalbihalal, alih-alih halal bihalal; serta silaturahmi, alih-alih silaturahim. Yang saya ingat, pesan saya tersebut hanya mendapat balasan emoji jempol. Saya menganggapnya sebagai tanda persetujuan. 

Lalu, hari ini saya mendapat kabar bahwa pesanan hamper saya beserta kartu ucapannya sudah selesai dirangkai. Dengan sangat antusias, saya meminta si narahubung toko memotretnya. Setelah pesan saya dibalas dengan sebuah foto, tangan saya segera membukanya. Mata saya kemudian tertuju pada isi teks yang ada pada kartu ucapan. Duh, saya sulit mendeskripsikan betapa kecewanya saya saat melihat foto kartu ucapan tersebut. 

Teks yang tercetak pada kartu ucapan yang siap dikirim itu tidak sesuai dengan teks yang saya berikan tujuh hari sebelumnya. Padahal, ketidaksesuaian itu hanya disebabkan oleh satu spasi. Iya, satu spasi. Satu spasi itu berhasil membuat saya merasa patah.  Sekitar dua menit setelahnya, saya membalas pesan narahubung toko tersebut. Kira-kira begini isinya. 

“Mbak, teks yang dicetak salah. Saya sudah tuliskan sebelumnya: Selamat Idulfitri 1442 Hijriah. Yang Mbak cetak adalah Selamat Idul fitri 1442 Hijriah.” 

Saya menduga, saat pesan balasan saya diterima oleh narahubung toko tersebut, ia akan menganggap saya sebagai pembeli yang menyebalkan. Mungkin juga, saya dijadikan bahan lelucon semua kru toko. “Padahal cuma karena lebih spasi. Lebai, ya, Mbak-nya. 

Ah, itu hanya pikiran suuzan saya. Sisi husnuzan saya menduga bahwa narahubung tersebut justru belajar bahwa bentuk bakunya adalah Idulfitri, bukan Idul fitri. Syukur-syukur kalau ia mengikuti akun @narabahasa di media sosial setelahnya.  

Kalau narahubung toko bertanya sebab penulisan Idulfitri yang dirangkai, saya sudah menyiapkan jawaban berikut.

Dalam bukunya yang berjudul Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia, Gaffar Ruskhan (2007) menjelaskan bahwa Idulfitri (عيد الفطر) yang bermakna ‘hari raya berbuka’ terdiri atas unsur Id (عيد) dan al-fitri (الفطر). Pada posisi awal, Id (عيد)  menggunakan tanda harakat u (damah) sehingga menjadi idu l-fitri. Nah, (u)l- tersebut semestinya melekat pada فطر fitri sebagai penanda makrifah. Oleh karena itu, ketika diserap dalam bahasa Indonesia, Idul- menjadi unsur terikat yang ditulis serangkai dengan kata sesudahnya. 

Ah, sayangnya, narahubung toko tidak bertanya. Lagi pula, di luar sana, masih banyak penulisan Idul dan Fitri yang kerap berjarak. Beberapa media massa arus utama pun berpaut pada penulisan Idul Fitri, bukan Idulfitri, dengan dalih bahwa Idul Fitri merupakan nama, bukan kata serapan. Menurut saya, itu adalah hal yang wajar. Media massa berhak menerapkan gaya selingkung (house style) yang berbeda dengan KBBI. Namun, sesuai namanya, gaya selingkung tersebut hanya berlaku di lingkungan yang menerapkannya. 

Lantas, bagaimana dengan nasib kartu ucapan yang sudah telanjur tercetak tadi? Beginilah bunyi pesan penutup saya kepada narahubung toko. “Tolong kirim saja hampernya ke alamat saya tanpa kartu ucapan, Mbak. Terima kasih.” 

Sama seperti media massa, saya pun berhak menerapkan gaya selingkung untuk wacana—seperti kartu ucapan yang saya hasilkan, ‘kan? 

 

Salam,

Dessy Irawan

 

Penulis: Dessy Irawan

Penyunting: Ivan Lanin