Indonesia dianggap belum menyediakan ruang yang aman dari kejahatan seksual. Beberapa waktu yang lalu pun, muncul berita-berita di media sosial yang menyoroti akademisi kampus sebagai pelaku kekerasan seksual. Tentu hal ini merupakan fakta yang mengkhawatirkan.

Untuk mengatasi masalah ini, pada 31 Agustus 2021, ditetapkanlah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Nizam–Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi–mengatakan, “Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 hadir sebagai langkah awal kita untuk menanggapi keresahan mahasiswa, dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan masyarakat tentang meningkatnya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi kita.”

Saya membaca Permendikbudristek tersebut dan tertambat pada satu frasa, yaitu persetujuan korban. Frasa tersebut digunakan dalam Pasal 5 yang menjelaskan lingkup kekerasan seksual, antara lain, “memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban”, “mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban”, dan “menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban”.

Dalam tulisannya, Ahmad Hamidi (2022) menduga bahwa persetujuan korban diangkat sebagai padanan sexual consent. Beliau menilai bahwa sexual consent sebaiknya dipadankan menjadi kesepakatan seksual karena apabila dijabarkan, kesepakatan seksual adalah kesepakatan (untuk melakukan) aktivitas seksual. Sementara itu, persetujuan korban merupakan persetujuan (dari) korban. Kita bisa lihat, dalam frasa persetujuan korban, seseorang dapat dinyatakan sebagai korban, bahkan sebelum persetujuan atau kesepakatan tercapai. Menurut Hamidi, persetujuan korban merupakan frasa yang menyudutkan korban.

Kendati begitu, Hamidi paham bahwa pembubuhan kata korban dalam frasa tersebut mungkin saja merupakan salah satu upaya untuk memprioritaskan status korban di mata hukum. Dengan begitu, seseorang yang dinyatakan sebagai korban dapat memperjuangkan hak-haknya dan mendapatkan jaminan atas pemulihan secara psikologis serta sosiologis.

Saya tidak ingin menyalahkan penggunaan frasa persetujuan korban jika hal itu memang dapat membantu penyelesaian perkara. Menurut saya, permasalahannya bukan berada pada bahasa, melainkan sistem hukum itu sendiri. Dalam konteks ini, bahasa merupakan alat yang mampu membantu korban kejahatan seksual untuk mendapatkan keadilan yang sebaik-baiknya.

Ah, iya. Ketika sedang mengerjakan tulisan ini, media sosial saya ramai dengan berita pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi undang-undang. Semoga hal ini dapat menjadi landasan untuk terciptanya ruang aman di Indonesia pada kemudian hari.

#kekerasanseksual #istilah

Rujukan:

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin