Selain diksi dan struktur kalimat, bunyi adalah aspek penting dalam bahasa, terutama pada ragam lisan. Nyatanya, bunyi tidak melulu menyangkut vokal dan konsonan. Lebih dari itu, pemaknaan kita terhadap bahasa juga dipengaruhi oleh tekanan, nada, jeda, dan durasi. Keempat faktor tersebut tergolong ke dalam bunyi suprasegmental atau prosodi.

Tekanan

Tekanan sering juga disebut sebagai stres. Di sini, bunyi dikaji berdasarkan kekuatannya. Ada bunyi yang keras dan ada pula bunyi yang lemah. Chaer dalam Fonologi Bahasa Indonesia (2013: 53) menuliskan sebagai berikut.

“Suatu bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang kuat sehingga menyebabkan amplitudonya melebar, pasti dibarengi dengan tekanan keras. Sebaliknya, sebuah bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang tidak kuat, sehingga amplitudonya menyempit pasti dibarengi dengan tekanan lunak.”

Bunyi segmental yang dimaksud oleh Chaer di atas adalah bunyi vokal dan konsonan.

Perlu diketahui, dalam bahasa Indonesia, tekanan hanya dinilai penting dalam tataran sintaksis. Artinya, tekanan dapat menegaskan makna frasa, klausa, atau kalimat. Misalnya, frasa mobil ini memiliki penekanan pada kata ini. Ini berarti bisa saja selain mobil tersebut, ada mobil lain yang masuk ke dalam konteks pembicaraan.

Nada

Tinggi atau rendahnya bunyi dikaji dalam nada sebagai bagian dari unsur suprasegmental. Nada yang tinggi akan berkaitan dengan frekuensi getaran yang tinggi, sedangkan nada yang rendah berkaitan dengan frekuensi getaran yang rendah. Nada sangatlah penting dalam bahasa-bahasa tona, seperti bahasa Thai dan Vietnam. Nada mampu mengubah makna pada tataran fonemis. Namun, dalam bahasa Indonesia, nada lagi-lagi bekerja secara sintaksis.

Variasi nada disebut intonasi. Kita dapat menggolongkan intonasi menjadi empat jenis, yaitu

a. nada rendah yang ditandai dengan angka 1;

b. nada sedang yang ditandai dengan angka 2;

c. nada tinggi yang ditandai dengan nada 3; serta

d. nada sangat tinggi yang ditandai dengan angka 4.

Berbeda dengan Chaer, Kridalaksana dkk., (1985: 168) menamakan variasi nada sebagai titinada yang tergolong ke dalam tiga jenis, yakni titinada rendah dengan simbol angka 1, titinada sedang dengan simbol angka 2, dan titinada tinggi dengan simbol angka 3.

Sering kali, intonasi atau titinada ini digunakan untuk menganalisis bentuk deklaratif, interogatif, atau imperatif. Perhatikan tiga contoh di bawah ini yang saya kutip dari Halim dalam Chaer (2007).

a. Rumah sekarang mahal.

    2     33n 2 33n 2     31t

b. Apa rumah sekarang mahal?

    2 –       33n 2   – 33n 2       31t

c. Bacalah buku itu!

    2 –      32t 2   11t

Pada tiga contoh di atas, huruf t berarti ‘turun’ dan huruf n berarti ‘naik’. Kemudian tanda setrip (-) berarti nada datar.

Jeda 

Jeda disamakan dengan persendian. Di sini, hentian bunyi dalam suatu arus ujaran menjadi titik berat. Sendi yang bersifat dalam (internal juncture) membatasi silabel dalam sebuah kata. Kata mobil, misalnya, jedanya dapat digambarkan menjadi [mo+bil].

Sementara itu, sendi yang bersifat luar (open juncture) dapat memberikan batasan berupa

a. antarkata dalam frasa, dilambangkan dengan garis miring tunggal (/);

b. antarfrasa dalam klausa, dilambangkan dengan garis miring ganda (//); dan

c. antarkalimat dalam wacana atau paragraf, dilambangkan dengan tanda pagar (#).

Tentu saja, dalam ujaran sehari-hari atau percakapan formal, jeda yang bersifat luar mampu mengubah makna. Perhatikan contoh berikut.

a. # Mobil / ayah // baru #

b. # Mobil // ayah / baru #

Contoh a menunjukkan bahwa ayah memiliki mobil yang baru. Namun, kalimat b mencerminkan bahwa ayah yang baru mempunyai mobil.

Durasi

Unsur suprasegmental yang terakhir adalah durasi. Di sini, bunyi dilihat lewat panjang atau pendek pelafalannya. Durasi memiliki peran yang penting dalam bahasa Arab karena unsur suprasegmental ini bersifat fonemis dan dapat mengubah makna. Sementara itu, dalam bahasa Indonesia, durasi tidak bersifat fonemis.

 

Rujukan:

  • Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
  • __________. 2013. Fonologi Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta.
  • Kridalaksana, Harimurti, dkk. 1985. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia: Sintaksis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin