Wakanda

oleh Harrits Rizqi Budiman

Lagi-lagi Twitter menyajikan bahan yang menarik untuk dibahas. Kerabat Nara yang gemar berselancar di media sosial tersebut pasti tahu bahwa akhir-akhir ini para netizen kerap mengganti kata Indonesia dengan Wakanda untuk menyatakan sindiran. Selain Wakanda, dalam jumlah yang lebih kecil, kata Konoha dan Irlandia juga tidak luput dari penyebutan. Nama pengguna @distractedbycat, misalnya, mengomentari sebuah cuplikan video berita bertajuk “Atlet Peraih Medali Emas PON XX Kembali Meladang” yang dikirim oleh @tvindonesiawkwk. Ia menulis, “di konoha kalau mau hidup makmur & banyk duid mesti di kerja di bidang politik. kalau menekuni profesi olahraga kurang meyakinkan.” Sementara itu, @akhisteven mengetwit seperti ini pada 21 Oktober 2021.

“yang lain udah renaissance negara tercinta ini masih di dark ages, ga  malu apa?

mau dari sisi birokrasi, organisasi olahraga, aparat, parpol, wakil rakyat, mahasiswa, pelajar semuanya bobrok

miris banget sama negara IRLANDIA”

Contoh penyebutan Wakanda sendiri terdapat dalam tiga nomor di bawah ini. Nomor pertama merupakan retwit kutip @RoniWibisono atas kiriman @txtdrpemerintah yang berupa tangkapan layar berita berjudul “Laporan Korban Perkosaan Ditolak Polisi, Alasannya karena Belum Vaksin”. Nomor kedua merupakan balasan dari @betaugal terhadap suatu balasan dari @beebuuboo_ yang menulis, “takut ditangkep pulici.” Nomor ketiga merupakan twit dari @rahman_1217 yang disertai tangkapan layar berita berjudul “Muncul Video Mesum ‘Lele 13 Detik’, Polisi Akan Dalami”. Berikut ketiganya.

  1. “Polisi wakanda kan? Ini mah pasti bukan di indonesia, disini mah keren, gerakannya cepet banget kalo nanganin kasus, semua sama di mata hukum kalo disini” (19 Oktober 2021)
  2. “Polisi Indonesia mah baik baik baik, nah di wakanda baruuu” (21 Oktober 2021)
  3. “Giliran gini gercep… isilop isilop wakanda emang beda… contoh donk polisi Indonesia yg selalu tanggap terhadap kasus” di Indonesia, #PolriSesuaiProsedur #PolriTidakAntiKritik” (22 Oktober 2021)

Kita dapat melihat bahwa mereka menggunakan ironi sebagai cara penyampaian. Gorys Keraf dalam Yudhistira (2021) menyebut bahwa ironi bertujuan untuk mengungkapkan makna atau maksud lain melalui sesuatu. Dengan kata lain, pada tiga contoh di atas, kenyataan di lapangan dibalikkan dalam tulisan sehingga seolah-olah menciptakan pengertian baru—yang lebih baik, padahal tidak.

Fenomena pengironian demikian—dengan pengalihan latar tempat Wakanda—bukanlah ketidaksengajaan. Kemunculannya yang berkali-kali itu mengindikasikan bahwa penulisnya memiliki tujuan tertentu. Bisa jadi hal tersebut merupakan kritik atau ungkapan kemarahan (kekecewaan). Lantas, mengapa mereka tidak mengatakannya secara lugas?

Penyebutan sesuatu yang lain sebagaimana di atas mungkin merupakan wujud kesantunan. Fathur Rokhman dan Surahmat (2020: 144) menulis, “Karena alasan kesantunan orang akan memilih sebutan lain secara berbeda dengan konvensi yang sudah ada ….” Kesantunan mendorong seseorang untuk menghaluskan kata-katanya sehingga yang muncul di permukaan bukanlah yang sebenarnya.

Meskipun begitu, kesantunan tampaknya bukan alasan mendasar penggunaan ironi dalam kasus yang sedang kita sorot. Jika memang kesantunan merupakan alasan dasar, penghalusan kata-kata seharusnya tidak dilakukan secara drastis. Misalnya, seseorang dapat mengatakan Dia jahat karena telah menghilangkan nyawa saudaranya alih-alih Dia jahat karena telah membunuh saudaranya. Dalam kalimat itu, kenyataan tetap diperlihatkan.

Jadi, apa yang membuat para netizen tidak menggunakan bahasa yang lugas? Dugaan saya ialah adanya ketakutan atas sesuatu yang begitu kuat dalam bermedia sosial, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada Pasal 27 ayat (3)—yang konsekuensinya terdapat dalam Pasal 45 ayat (1), undang-undang itu menyebutkan bahwa “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” akan dipenjara paling lama enam tahun dan/atau didenda paling banyak satu miliar rupiah. Pasal yang kerap disebut sebagai “pasal karet” itu setidaknya telah menghasilkan lima orang terdampak, yakni Prita Mulyasari, Muhammad Arsyad, Ervani Handayani, Florence Sihombing, dan Fadli Rahim (Stephanie, 2021). Atas hal itu, wajar saja akun @RoniWibisono, @betaugal, dan @rahman_1217 memilih untuk tidak menyebut frasa “polisi Indonesia” sebagai subjek, tetapi “polisi Wakanda”.

Pemilihan kata Wakanda sendiri cukup unik. Dari sekian banyak nama tempat, mengapa itu yang dijadikan sebagai subjek pengalih? Barangkali Wakanda terdengar lucu—tentu ini sangat subjektif. Selain itu, Wakanda adalah tempat fiktif sehingga, dalam kepala netizen, potensinya untuk dipermasalahkan dikira relatif kecil. Meskipun begitu, ada sebagian netizen yang tidak setuju dengan pemilihan kata Wakanda. Menurut mereka, sebagaimana tergambar dalam film Black Panther (2018), Wakanda adalah tempat yang berteknologi maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan sehingga tidak cocok dipertukarkan dengan Indonesia. Namun, bukankah itu justru menyatakan secara implisit bahwa Indonesia memang tidak baik-baik saja?

Yang jelas, berdasarkan fenomena ini, kita bisa mengetahui bahwa produk hukum dapat memengaruhi cara seseorang atau masyarakat berbahasa, khususnya di media sosial. Kritik tidak disampaikan dengan bahasa yang lugas, tetapi dengan sindiran. Perilaku demikian membuat saya bertanya-tanya. Apakah kita akan menjadi bangsa yang takut untuk mengatakan kebenaran? Apakah sindiran adalah jalan terbaik untuk memperbaiki keadaan? Untuk menjawabnya, saya sepertinya perlu bertapa terlebih dahulu di Wakanda.

Referensi:

Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jakarta: Republik Indonesia.

Rokhman, Fathur dan Surahmat. (2020). Linguistik Disruptif: Pendekatan Kekinian Memahami Perkembangan Bahasa. Jakarta: Bumi Aksara.

Stephanie, Conney. (2021). “6 ‘Korban’ yang Dijerat Pasal Karet UU ITE”. Kompas.com. Diakses pada 22 Oktober 2021. https://tekno.kompas.com/read/2021/02/16/15030007/6-korban-yang-dijerat-pasal-karet-uu-ite?page=all

Yudhistira. (2021). “Ironi, Sinisme, Sarkasme, dan Satire”. Narabahasa. Diakses pada 22 Oktober 2021. https://narabahasa.id/linguistik-interdisipliner/stilistika/ironi-sinisme-sarkasme-dan-satire.

 #ironi #uuite #wakanda

Penulis : Harrits Rizqi

Penyunting : Ivan Lanin

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar