Psikolinguistik termasuk ke dalam kajian interdisiplin, yaitu bertemunya ilmu linguistik dengan ilmu psikologi. Nama kajian ini diduga ditemukan pada 1936 oleh Jacob Robert, seorang psikolog, yang menulis buku An Objective Psychology of Grammar. Istilah psikolinguistik kemudian dipopulerkan oleh Nicholas Henry Pronko, murid Robert, yang menulis artikel berjudul “Language and Psycholinguistics: A Review” (1946).
Sebetulnya, apa yang dipelajari dalam psikolinguistik? Alan Garnham dalam buku Psycholinguistics: Central Topics (1985) menyatakan bahwa psikolinguistik adalah studi tentang mental (watak dan batin) yang membuat seseorang berbahasa. Garnham juga menuliskan bahwa kajian psikolinguistik bertujuan menemukan teori yang koheren mengenai produksi dan pemahaman bahasa. Sementara itu, dalam Kamus Linguistik Edisi Keempat (2008), Kridalaksana mendefinisikan psikolinguistik sebagai ‘ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dengan perilaku dan akal budi manusia; ilmu interdisipliner linguistik dengan psikologi’.
Perkembangan kajian psikolinguistik terbilang pesat karena kajian ini merambah persoalan pemerolehan bahasa, komprehensi, dan produksi bahasa. Berkaitan dengan perkara tersebut, temuan analisis psikolinguistik nantinya mampu memberikan manfaat terhadap perencanaan bahasa, baik bahasa nasional maupun bahasa daerah.
Saya menemukan satu contoh penelitian psikolinguistik di Indonesia. Pada 2018, Adi dkk. melakukan penelitian berjudul “Peranan Pola Pengasuhan terhadap Pemerolehan Bahasa pada Anak: Sebuah Kajian Psikolinguistik”. Mereka menemukan bahwa pola pengasuhan bisa berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa anak-anak berusia dua tahun dari segi fonologi, morfosintaksis, leksikon, dan pragmatika.
Sebentar, berarti psikolinguistik juga mempelajari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan pragmatika? Betul. Maka dari itulah kajian ini dinilai kompleks. Seorang ahli psikolinguistik harus menguasai semua tataran linguistik, mulai dari fonologi, morfologi, sintaksis, wacana, semantik, hingga pragmatik, demi memahami kinerja otak manusia dalam berbahasa.
Sekilas, psikolinguistik hampir sama dengan neurolinguistik. Namun, ada sedikit perbedaan yang perlu diperhatikan. Fokus psikolinguistik adalah mengetahui pemerolehan bahasa pada anak-anak dan pemahaman proses berbahasa di otak manusia. Pada lain sisi, neurolinguistik berfokus untuk membuat sebuah model atau merekonstruksi kinerja otak dalam aktivitas berbicara, mendengar, membaca, menulis, dan berbahasa isyarat. Lebih dari itu, penelitian neurolinguistik juga banyak dilakukan untuk memahami gangguan berbahasa.
Rujukan:
- Adi, dkk. 2018. “Peranan Pola Pengasuhan terhadap Pemerolehan Bahasa pada Anak: Sebuah Kajian Psikolinguistik”. Dalam Jurnal LITERASI, Vol. 8, No. 2, Juli, hlm. 75–83. Ciamis: Universitas Galuh.
- Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Kushartanti, dkk. (ed). 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
- Nordquist, Richard. 2019. “What Is Psycholinguistics?”. Diakses pada 24 Juni 2021.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin