Bahasa selalu berperan dalam penyampaian nilai-nilai baik. Dalam penyuluhan tentang kebersihan lingkungan, misalnya, penggunaan slogan yang menarik tentunya dapat memikat perhatian, bahkan menggugah emosi massa. Selain itu, ketika bersekolah atau mempelajari sesuatu, kita memanfaatkan bahasa sebagai sarana pentransferan ilmu pengetahuan.
Nasihat orang tua, bagi saya, merupakan salah satu corong ajaran moral atau nilai-nilai baik. Ketika saya kecil, mereka sering kali bilang, “Kalo makanannya nggak habis, nanti nasinya nangis.” Barangkali beberapa dari Kerabat Nara juga pernah mendengar petuah serupa. Sebagai anak kecil, saya percaya bahwa nasi bisa menangis layaknya manusia. Maka dari itu, saya berusaha untuk menghabiskan makanan yang sudah tersajikan.
Saat dewasa, saya baru tahu bahwa gambaran nasi yang menangis sebetulnya adalah sebuah cerita. Mulasih Tary, seorang penulis cerita anak, pernah menyusun buku Kisah dari Negeri Dongeng (2018). Salah satu kisah di dalamnya berjudul “Kisah Nasi Menangis”, bercerita tentang Noe sebagai tokoh utama yang tidak menghabiskan makanannya. Ketika sedang tidur, Noe mendengar suara tangisan dari dapur. Dia pun bergegas ke dapur dan mengetahui bahwa isak tersebut berasal dari nasi yang tidak Noe habiskan sewaktu makan.
Tammara Soma (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “The Tale of the Crying Rice: The Role of Unpaid Foodwork and Learning in Food Waste Prevention and Reduction in Indonesian Households” menuliskan bahwa cerita tentang nasi yang menangis atau the crying rice bisa dikategorikan sebagai dongeng. Di Indonesia, khususnya di Jawa, nasi adalah makanan pokok dan sering kali dianggap sebagai identitas budaya. Dalam tulisannya yang lain, yakni “Solving Canada’s food waste problem”, Soma juga menyatakan bahwa cerita the crying rice mungkin saja ditemukan di negara lain yang masyarakatnya terbiasa mengonsumsi nasi, seperti Cina dan Jepang. Bahkan, di Malaysia, ada sebuah kisah berjudul “The Rice Flower”, bercerita tentang nasi yang menangis setelah dibuang oleh manusia.
Meskipun dituturkan dalam bahasa dan di negara yang berbeda, ajaran moral dari cerita tersebut sama: jangan membuang-buang makanan. Gaya bahasa yang berbeda pun ternyata mampu menyampaikan makna yang serupa. Lebih dari itu, ternyata sejak kecil kita sudah sering dijejali cerita-cerita dengan majas personifikasi, yaitu majas yang menampilkan hewan, tanaman, atau benda sebagai manusia.
#majas #personifikasi
Rujukan:
- Dongeng Anak. “Kisah Nasi yang Menangis”. Diakses pada 26 Oktober 2021.
- SEAMO-APCEIU. “The Rice Flower”. Diakses pada 26 Oktober 2021.
- Soma, Tammara. 2016. “The Tale of the Crying Rice: The Role of Unpaid Foodwork and Learning in Food Waste Prevention and Reduction in Indonesian Households”. Dalam Jurnal Learning, Food, and Sustainability, hlm. 19–34. New York: Palgrave Macmillan.
- _____________. 2018. “Solving Canada’s food waste problem”. Diakses pada 26 Oktober 2021.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin