Eufemisme dalam Kekuasaan, Media Massa, dan Kritik
Seiring berjalannya waktu, bahasa mengalami perkembangan. Kita tahu itu. Terlebih, makna suatu kata pun dapat meluas dan menyempit. Perubahan makna berupa penghalusan atau eufemisme, saya rasa, tidak akan ada habisnya untuk diperdebatkan—apalagi jika dikaitkan dengan politik, kekuasaan, dan media massa.
Saya menemukan satu artikel yang menarik. Pada 2017, Zammil menulis “Peran Bahasa dalam Melegitimasi Rezim Orde Baru”. Menurutnya, bahasa adalah salah satu alat politik yang digunakan pada era Orde Baru untuk mengukuhkan kekuasaan. Dia lantas mengutip Virginia Matheson Hooker dalam buku Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Dalam buku itu, Hooker menyatakan bahwa eufemisme merupakan upaya politisasi makna.
Kerabat Nara mungkin sering mendengar kata mengamankan yang sebetulnya bermakna ‘menahan’ atau ‘menangkap’. Itu adalah salah satu eufemisme yang sampai hari ini masih kerap digunakan. Untungnya, sebagian masyarakat sekarang tidak lagi ragu bahwa kata tersebut hanyalah penghalusan. Di mata netizen, mengamankan adalah kata umum untuk mencerminkan kebohongan. Saking umumnya, kini mengamankan pada KBBI memiliki makna ‘menahan orang yang melanggar hukum demi keamanan umum dan keamanan orang itu dari kemungkinan tindakan main hakim sendiri’. Mungkin juga, penyematan makna tersebut makin membuktikan adanya politisasi makna terhadap kata mengamankan.
Eufemisme juga turut mendapatkan tempat pada judul-judul berita dalam media massa. Ada kalangan yang tidak setuju dengan media massa yang menggunakan kata menggagahi serta rudapaksa, misalnya, untuk memaknai ‘memerkosa’. Pasalnya, rudapaksa pertama kali digunakan dalam istilah hukum, yakni untuk memadankan istilah gewelddadige aanslag menjadi ‘makar rudapaksa’ dan gewelddadige dood menjadi ‘mati rudapaksa’, ‘mati karena kekerasan’. Pada KBBI edisi pertama (1988), rudapaksa memaknai ‘perbuatan yang dilakukan dengan paksa’. Lalu pada KBBI edisi kedua (1991), kata tersebut mengartikan ‘kekerasan; kekejaman’. Barulah pada edisi ketiga (2001), kamus kita menyematkan makna ‘paksa; perkosa’ pada rudapaksa.
Kita bisa lihat, baik pemerintah maupun media massa memanfaatkan eufemisme pada wacana yang mereka sampaikan. Barangkali, penggunaan tersebut dilakukan untuk menyajikan sesuatu yang lebih enak dibaca dan didengar. Di luar itu, Mualafina (2017) dalam “Eufemisme Bahasa Indonesia dalam Bidang Profesi” menawarkan perspektif baru bahwa penggunaan kata driver alih-alih sopir dalam aplikasi ojol juga mencerminkan eufemisme. Dalam penggunaannya, eufemisme bisa mengangkat martabat suatu profesi, seperti munculnya istilah asisten rumah tangga.
Lebih dari itu, di tengah ngerinya jeratan UU ITE, kita mesti lebih berhati-hati dalam berbahasa. Mungkin saja, eufemisme bisa dimanfaatkan pula untuk melemparkan kritik secara aman.
#eufemisme
Rujukan:
- Hidayat, Asep Rahmat. “Rudapaksa”. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Diakses pada 8 September 2021.
- Mualafina, Rawinda Fitrotul. 2017. “Eufemisme Bahasa Indonesia dalam Bidang Profesi”. Transformatika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Vol. 1, No. 1, Maret, hlm. 123–140. Magelang: Universitas Tidar.
- Zammil. 2017. “Peran Bahasa dalam Melegitimasi Rezim Orde Baru”. Terakota. Diakses pada 8 September 2021.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin
Daftar Tag:
Artikel Terkait
Artikel & Berita Terbaru
- Tabah ke-145 bersama Alfan, Harapan III Duta Bahasa Nasional 2023
- Pelatihan Griyaan untuk DJKI: Belajar Menulis Berita yang Efektif
- Hadapi Tantangan Menyusun Laporan Tahunan bersama Narabahasa
- Tabah ke-144 bersama Luthfi, Harapan II Duta Bahasa Nasional 2023
- Dua Pekan Lagi Bulan Bahasa dan Sastra
- Griyaan Penulisan Wara Narabahasa untuk Kemenkeu
- Tabah ke-143 bersama Arianti, Harapan II Duta Bahasa 2023
- Bagaimana Anak Memperoleh Keterampilan Berbahasa?
- KDP Hadir Kembali: Kerinduan yang Sedikit Terobati
- Kreasi Konten Media Sosial Finalis Dubasnas 2024
- Menelisik Peran Nama pada Tempat melalui Kajian Toponimi
- Nilai Religius Ungkapan Kematian