Bahasa mencerminkan identitas satu atau sekelompok orang. Hal ini pun tidak terlepas dari budaya daerah penuturnya. Mungkin karena itulah, beberapa orang Indonesia yang merantau ke luar negeri dapat sedikit melepaskan kerinduannya ketika bertemu dengan sesama orang Indonesia. Mereka bercakap-cakap lewat bahasa Indonesia, menanyakan kabar masing-masing, kampung halaman, dan makanan favorit. Amartya Sen (2006), seorang ekonom terkemuka asal India menyatakan hal berikut.

The sense of identity can make an important contribution to the strength and the warmth of our relations with others, such as neighbors, or members of the same community, or fellow citizens, or followers of the same religion.”

Berdasarkan sejarah, bahasa Indonesia memiliki peranan untuk mengukuhkan identitas bangsa. Kita bisa melihat kembali semangat pemuda-pemudi terdahulu yang memelopori peristiwa Sumpah Pemuda. Menurut Muchlas Jaelani dalam esainya “Meremajakan Bahasa Indonesia”, bahasa Indonesia mampu menunjukkan garis pembatas antara penjajah dan terjajah. Namun, jangan lupakan bahwa lahirnya bahasa Indonesia pada akhirnya juga merupakan alat politik yang menuai sejumlah perdebatan. Bahkan, hingga hari ini, saya kira masih banyak orang yang tidak setuju dengan pembakuan bahasa Indonesia.

Sebagai sistem komunikasi, bahasa dibangun berdasarkan kesepakatan penutur. Selain itu, bahasa juga memiliki variasi karena kelompok penuturnya begitu beragam. Dua sifat tersebut dipaparkan oleh Harimurti Kridalaksana (2005). Sebagai dampaknya, bahasa prokem atau bahasa gaul muncul, seturut dengan masuknya budaya pop dan akses internet. Turunannya adalah bahasa alay. Pada awal 2000, kita cukup familier dengan penggunaan huruf kapital, tanda baca, unsur angka, dan penyulihan huruf secara tidak beraturan dalam suatu kata: 4kU c!nTa Qm. Variasi bahasa tersebut pada masanya marak dipakai oleh generasi muda sebagai bagian dari identitas kelompok mereka.

Setali tiga uang dengan identitas lainnya, bahasa alay dicerca. Saya yang pernah memanfaatkan bahasa alay pun turut menghina penutur bahasa alay pada kemudian hari. Barangkali beberapa dari kita menganggapnya sebagai bahasa yang norak, sesuatu yang kampungan. Mungkin saja, bahasa alay dicerca oleh mereka yang tidak mengamini identitas bahasa alay.

Padahal, dari sisi yang lain, bahasa alay dapat dianggap sebagai bentuk perlawanan anak muda terhadap kekakuan bahasa. Adi Nugroho (2012) dalam laporan khususnya mengutip penjelasan Radhar Panca Dahana mengenai fenomena ini: “Radhar menuturkan, alay ini merupakan perlawanan pemuda terhadap bentuk-bentuk bahasa yang klasik, konservatif, dan konvensional. Dengan adanya penolakan seperti itu, kebudayaan semakin berkembang.”

Bahasa sebagai identitas akan selalu menuai ketidaksetujuan dari pihak lain. Kita bisa dengan mudah menghakimi gaya bertutur dan ciri khas bahasa orang lain karena tidak sejalan dengan identitas yang kita miliki. Bahasa alay adalah salah satu identitas sekelompok masyarakat. Selain mencerminkan variasi bahasa dan perlawanan anak muda—seperti yang dijelaskan Dahana, bahasa alay dapat dilihat sebagai wujud kreativitas penuturnya dalam berkomunikasi.

#bahasaalay

Rujukan:

  • Atmawati, Dwi. 2017. (ed) Menyelamatkan Bahasa Indonesia: Antologi Esai Karya Pemenang dan Karya Pilihan Lomba Penulisan Esai bagi Remaja. Yogyakarta: Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta.
  • Kushartanti, Yuwono, dan Lauder. (ed). 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Nugroho, Adi. 2012. “Dinamika Alay dalam Masyarakat”. LPM Institut. Diakses pada 8 Desember 2021.
  • Sen, Amartya. 2006. Identity and Violence: The Illusion of Destiny. New York: W. W. Norton.

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin