Saat ini, sebagian besar orang bermedia sosial. Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp, YouTube, dan TikTok adalah segelintir contoh aplikasi yang rutin kita buka sehari-hari. Ditambah lagi, pandemi yang menyita kebebasan ruang aktivitas kita seolah menjadikan media sosial sebagai alat yang ampuh untuk menggerakkan roda bisnis, merekatkan tali silaturahmi, bahkan menjalankan pemerintahan.

Dalam media sosial, bahasa adalah perpanjangan atas pola pikir dan pesan-pesan yang hendak kita sampaikan. Bahasa mencirikan identitas seseorang dan perusahaan. Bahkan, penggunaan bahasa dalam media sosial juga ikut menandakan siapa audiens yang menjadi target pasar dan pembaca dari kiriman (postingan).

Kiranya, ihwal-ihwal tersebutlah yang dibahas oleh Ivan Lanin selaku pemateri dalam Kelas Daring Narabahasa (KDNB) pada musim ke-7 yang telah digelar pada Jumat, 25 September 2020, pukul 19.00–21.20 WIB. Kelas Penulisan Konten Media Sosial membahas tiga fokus utama, yakni karakteristik, pengelolaan, dan bahasa media sosial. Salah satu pertanyaan dari peserta rapat yang menarik perhatian saya adalah soal konsistensi penggunaan gaya atau ragam bahasa dalam media sosial.

Pertama-tama, perlu diketahui bahwa istilah ragam bahasa telah tercatat dalam Kamus Linguistik: Edisi Keempat (2009) yang ditulis oleh Harimurti Kridalaksana. Ragam bahasa merupakan variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, dan orang yang dibicarakan, dan menurut medium pembicaraan. Untuk melengkapi pemahaman tersebut, saya membaca pemaparan Gorys Keraf dalam buku Diksi dan Gaya Bahasa (2006). Beliau menjelaskan bahwa dalam bahasa standar, terdapat klasifikasi gaya bahasa resmi, tak resmi, dan percakapan sehari-hari. Mudahnya, gaya bahasa resmi sering digunakan dalam pidato atau dokumen kenegaraan, korespondensi kedinasan, serta karangan ilmiah. Selanjutnya, gaya bahasa tak resmi cenderung digunakan dalam situasi yang tidak atau kurang formal. Contohnya yang paling umum adalah artikel berita. Jika gaya bahasa resmi dapat diibaratkan dengan jas atau pakaian seragam, gaya bahasa tak resmi merupakan kemeja atau penampilan kasual yang rapi. Sementara itu, gaya bahasa percakapan memiliki ciri sintaksis dan morfologis yang biasa kita temui dalam ujaran sehari-hari.

Setiap pengguna media sosial punya kebebasan untuk menentukan gaya bahasanya masing-masing. Tentu hal ini berkaitan dengan identitas, citra, bahkan tujuan individu dan organisasi. Dengan memperhatikan topik yang dibicarakan, medium yang digunakan, audiens atau pihak yang dituju, serta situasi yang berlangsung, kita bisa memilih gaya bahasa yang paling sesuai. Setelah itu, jangan lupa, jagalah konsistensinya. Bagaimanapun, kemantapan dalam menjalankan sesuatu yang kita pilih adalah bentuk ketegasan, prinsip. Demikian halnya dengan pemakaian gaya bahasa.

Penulis: Yudhistira
Penyunting: Dessy Irawan


Rujukan

  1. Keraf, Gorys. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
  2. Kridalaksana, Harimurti. 2009. Kamus Linguistik: Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama