Perpustakaan, Pustakawan, dan Literasi

oleh Yudhistira

Kita sering mendengar rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia. Berbagai macam survei dilakukan untuk menemukan akar permasalahannya. Mulai dari kecanduan terhadap media sosial, akses distribusi buku yang tidak merata, aktivitas menonton yang lebih menarik, rendahnya rentang perhatian (attention span), hingga sedikitnya ruang baca acap didapuk sebagai duduk perkara rendahnya kemampuan literasi kita.

Kebetulan, saya memiliki teman lulusan Ilmu Perpustakaan. Namanya Azwar. Sebagai sesama alumni Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, kami sering mendiskusikan sastra dan bacaan-bacaan menarik. Suatu hari, ketika sedang mengobrol sembari meminum secangkir kopi, saya bertanya, “Apa peran pustakawan dalam mendongkrak tingkat literasi nasional?”

Pertanyaan tersebut saya lontarkan lantaran rasa penasaran mengapa peran pustakawan (mereka yang menggeluti ilmu perpustakaan) seolah dikesampingkan dalam fakta literasi kita saat ini.

Kita tahu, perpustakaan punya peran yang penting dalam menunjang tingkat literasi. Namun, bagi Azwar, perpustakaan tanpa pustakawan yang andal ibarat jalanan gelap tanpa lentera, tsunami informasi tanpa penyelamat. Rachman Hermawan (2006) dalam Tunardi (2018) menyatakan bahwa seorang pustakawan bertugas sebagai edukator, manajer, administrator, dan supervisor. 

Sebagai edukator, seorang pustakawan mengajar dan melatih kemampuan peserta didik dalam memilah informasi. Kemudian, dalam menjadi manajer, pustakawan bertugas mengepalai seluruh sumber daya di perpustakaan: sumber daya manusia, dana, dan prasarana. Pustakawan juga bertindak sebagai administrator yang memimpin, melaksanakan, dan mengevaluasi sistem keorganisasian dalam badan perpustakaan. Yang terakhir, sebagai supervisor, pustakawan bertanggung jawab dalam meningkatkan prestasi serta pengetahuan dan keterampilan rekan sejawat maupun pemustaka–pengguna perpustakaan.

“Pustakawan itu bukan sumber informasi, tetapi dia bisa ngasih tau kita gimana cara ngedapetin informasi yang kredibel dalam waktu yang singkat,” tutur Azwar. Apabila pertumbuhan perpustakaan tidak sebanding dengan kompetensi pustakawan, minat menulis dan membaca masyarakat serta kemampuan pemustaka dalam mengoptimalkan ketersediaan sumber daya berpotensi mengalami kendala. 

Kawan saya menambahkan, “Sejak dari sekolah, kita sudah dijauhkan dari fungsi ideal sebuah perpustakaan. Perpustakaan malah jadi tempat kabur bagi para murid.” Mungkin, kualitas pendidikan dan mutu perpustakaan juga berpengaruh terhadap sedikitnya orang yang ingin menggeluti ilmu perpustakaan. Hal ini lantas berdampak pada minimnya minat masyarakat umum untuk memanfaatkan perpustakaan.

Dengan anggapan seperti itu, kita seolah terjebak dalam pusaran yang belum terlihat titik terangnya. Artinya, banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan untuk meningkatkan literasi nasional.

 

Rujukan:

  • Sinaga, Tatang Mulyana. 2023. “Indonesia Kekurangan Hampir Setengah Juta Pustakawan”. Kompas.id. Diakses pada 10 April 2023.
  • Tunardi. 2018. “Memaknai Peran Perpustakaan dan Pustakawan dalam Menumbuhkembangkan Budaya Literasi”. Dalam Jurnal Media Pustakawan, Vol. 25, No. 3, hlm. 68–79. Jakarta: Perpustakaan Nasional.

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin



Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar