Sebelum dipublikasikan, sebuah naskah sebaiknya disunting. Hal ini perlu dilakukan sehingga naskah bisa bebas dari saltik dan tata bahasa yang berantakan. Lebih dari itu, seorang penyunting bisa membantu penulis untuk menerbitkan karya yang sesuai dengan keinginannya.
Pertanyaannya, sebagai karya fiksi, apakah naskah sastra perlu disunting? Bukankah, naskah sastra memiliki wewenang untuk mendobrak kaidah-kaidah bahasa? Jika ada lisensi artistik, apa urgensi mengedit karya sastra?
Pertama-tama, perlu kita ketahui bahwa penyuntingan tidak hanya berpaku pada ejaan dan tata bahasa. Sebuah tulisan dalam Reedsy menyatakan, “Editor naskah sastra adalah sahabat penulis naskah—mereka memiliki keterampilan, pengalaman, dan pengetahuan untuk membawa naskah Anda ke tingkat berikutnya.” Tulisan tersebut juga menyebutkan lima tahap penyuntingan karya sastra, yakni peninjauan editorial, penyuntingan pengembangan, penyuntingan ejaan dan tata bahasa, penyelarasan akhir (proofreading), dan pengecekan fakta.
Peninjauan Editorial
Ini adalah tahap awal. Di sini, penyunting akan berdiskusi dengan penulis mengenai keseluruhan cerita, gambaran tokoh juga wataknya, alur, serta amanat.
Penyuntingan Pengembangan
Pada tahap ini, penyunting memastikan bahwa pengembangan watak para tokoh dan alur mampu menyampaikan amanat dari sang penulis.
Penyuntingan Ejaan dan Tata Bahasa
Ada beberapa penulis karya sastra yang ingin tulisannya tetap mengikuti kaidah-kaidah kebahasaan. Maka dari itu, penyuntingan ejaan dan tata bahasa tetap diperlukan dalam lingkup karya fiksi. Kendati penulis ingin melanggar kaidah kebahasaan, penyunting wajib memastikan bahwa pelanggaran tersebut telah diterapkan dengan konsisten.
Penyelarasan Akhir
Di sini, penyunting meninjau keseluruhan naskah, mulai dari pengaluran, karakteristik tokoh, ejaan dan tata bahasa, hingga tata letak.
Pengecekan Fakta
Pada tahap pengecekan fakta, penyunting memeriksa ulang seluruh informasi yang dimuat dalam karya. Memang, karya sastra bisa saja menampilkan realitas yang seratus persen fiksi. Namun, bisa juga tidak.
Saya pernah menyunting karya sastra. Waktu itu, seorang teman memberikan novelnya kepada saya untuk disunting. Saya langsung bertanya, “Apa saja yang perlu saya sunting? Ejaan? Tata bahasa?” Dia mengiakan. Menurutnya, ejaan dan tata bahasa dalam novel tersebut harus sesuai dengan PUEBI. Baiklah, saya turuti.
Selain itu, ada pula seorang kawan yang meminta bantuan saya untuk mengedit naskah puisinya. Secara khusus, dia meminta bahwa kata ingkar tidak ditulis menjadi gak. Alasannya, dia ingin puisi-puisinya dikemas dengan bahasa yang kasual. Menurutnya juga, kata enggak dan nggak masih terkesan kaku. Tidak apa-apa, bebas saja.
Berdasarkan pengalaman saya itu, lima tahap penyuntingan karya sastra di atas juga dapat berdiri sebagai jenis penyuntingan. Dua teman saya hanya meminta saya untuk meninjau ejaan dan tata bahasa. Dengan demikian, peninjauan editorial, penyuntingan pengembangan, penyelarasan akhir, dan pengecekan fakta tidak diperlukan. Tidak ada tahapan yang mesti dilewati satu per satu.
Jadi, apakah karya sastra perlu disunting? Buat saya, tentu perlu, terlepas dari keinginan sang penulis untuk mengikuti kaidah bahasa atau tidak. Toh, terkadang memang dibutuhkan sepasang mata orang lain untuk membantu penulis dalam mencurahkan isi hati dan kepalanya.
#penyuntingan #sastra
Rujukan:
Reedsy. 2021. “5 Types of Editing: Which One Do You Need Right Now?”. Diakses pada 8 Februari 2022.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin