Sebagian dari kita, barangkali, bisa menggunakan tiga bahasa: bahasa Indonesia, satu bahasa asing, dan satu bahasa daerah. Ada teman-teman saya yang fasih berbahasa Inggris. Ada pula yang lancar berbahasa Arab. Selain itu, mereka juga menguasai bahasa daerah dari tempat mereka dilahirkan atau dibesarkan.
Seseorang yang bisa menggunakan dua bahasa disebut dwibahasawan, sedangkan seseorang yang mampu memakai lebih dari dua bahasa adalah seorang multilingual. Perlu diketahui pula, mereka yang menguasai tiga bahasa atau lebih sering juga disebut sebagai poliglot. Sementara itu, hiperpoliglot adalah sebutan bagi mereka yang menguasai lebih dari enam bahasa.
Memang, batasan antara poliglot dan hiperpoliglot belum ditetapkan secara resmi. Pendapat yang saya gunakan dalam tulisan ini datang dari Usman Chohan, Ketua The International Association of Hyperpolyglots. Secara lebih jelas, beliau mengatakan, seorang hiperpoliglot harus bisa menguasai enam bahasa atau lebih dengan fasih.
Ada beberapa hiperpoliglot yang terkenal. Emil Krebs, misalnya, seorang diplomat dari Jerman yang hidup pada 1867–1930. Dia menguasai 65 bahasa. Krebs pernah menerjemahkan ungkapan kiss my ass ke dalam 40 bahasa. Kemudian, Giuseppe Caspar Mezzofanti yang berasal dari Italia diduga mampu menggunakan 70 bahasa. Pada era ini, Timothy Doner tergolong sebagai hiperpoliglot muda. Pada Januari 2020, Doner mengaku telah menguasai 20 bahasa.
Di Indonesia sendiri, nama Raden Mas Panji Sosrokartono tercatat sebagai seorang hiperpoliglot. Dia yang hidup pada 1877–1952 merupakan kakak dari Raden Ajeng Kartini dan menguasai 9 bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Selama bersekolah di Leiden, Kartono—sapaannya—mempelajari banyak bahasa. Bung Hatta menulis bahwa Sosrokartono pernah menjadi juru bahasa Basken, suku bangsa Spanyol. Lebih menariknya lagi, pada 1919–1921, Kartono menjabat sebagai penerjemah di Liga Bangsa-Bangsa yang sekarang sudah berganti menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Ternyata, seorang hiperpoliglot memiliki struktur otak yang berbeda. Namun, belum ada yang bisa membuktikan bahwa perbedaan struktur otak itu adalah murni bawaan genetika. Dengan kata lain, belum bisa dipastikan bahwa hiperpoliglot lahir begitu saja.
Michael Erard, penulis Babel No More: The Search for the World’s Most Extraordinary Language Learners (2012), menuliskan bahwa hiperpoliglot tidak dilahirkan atau diciptakan. Namun, mereka seolah dilahirkan untuk diasah sebagai hiperpoliglot. “A combination of the right genetic predisposition, a curious mind, and an active dedication to mastering multiple languages is basically the secret sauce we’re talking about here,” tulis Erard.
#poliglot #hiperpoliglot
Rujukan:
- Aryono, 2016. “Pengembaraan Sosrokartono”. Diakses pada 12 Agustus 2021.
- Doner, Timothy. 2020. “Timothy Doner: How I learned to speak 23 languages”. Teen Kids News.
- Erard, Michael. 2012. “King of the Hyperpolyglots”. Diakses pada 12 Agustus 2021.
- Koyfman, Steph. 2019. “Are You A Polyglot, Or A Hyperpolyglot?”. Diakses pada 12 Agustus 2021.
- Morris, Iain. 2013. “Mezzofanti’s Gift: The Search for the World’s Most Extraordinary Language Learners by Michael Erard – review”. Diakses pada 12 Agustus 2021.
- Nordquist, Richard. 2019. “What Is Multilingualism?”. Diakses pada 12 Agustus 2021.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin
2 komentar
Duh, saya belajar bahasa Indonesia saja enggak kelar-kelar. :’ (
Belajar tandanya berproses sepanjang hayat. Semangat, ya, Kerabat Nara!