Berbeda dengan tulisan fiksi, karya ilmiah disusun dengan pemikiran yang lebih objektif. Karya ilmiah pun memiliki laras bahasa, sistematika, dan cara penerbitannya tersendiri. Karya ilmiah bisa saja dipublikasikan tanpa buku, seperti laporan penelitian, artikel, makalah, dan resensi. Sementara itu, buku ajar, teks, referensi, pegangan, dan penunjang adalah contoh-contoh karya ilmiah berbentuk buku.
Baik karya ilmiah murni maupun populer, baik berbentuk buku maupun nonbuku, karya ilmiah harus memiliki rumusan masalah. Perka LIPI Nomor 4 Tahun 2012 tentang Pedoman Karya Tulis Ilmiah menuliskan, “Permasalahan atau rumusan masalah, untuk semua bidang ilmu (dalam penelitian), menunjukkan fenomena yang ada dan wajib dikaitkan dengan ranah ilmu pengetahuan. Permasalahan diidentifikasikan dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian.” Tanpa rumusan masalah, topik dalam tulisan ilmiah jadi tidak mengerucut. Bisa-bisa, pembahasan jadi berantakan tidak terarah.
Dalam The Psychologist’s Companion: Planning and A Guide to Writing Scientific Papers for Students and Researchers (2010), Robert J. Sternberg serta Karin Sternberg menjelaskan pentingnya rumusan masalah melalui konsep yang sederhana: “Ingatlah bahwa tujuan utama dari pendahuluan adalah untuk menarik minat pembaca pada makalah Anda dan penjelasan tentang pentingnya studi yang Anda lakukan dapat memotivasi pembaca untuk melanjutkan membaca artikel atau membuangnya.”
Kerabat Nara barangkali sudah tahu, rumusan masalah terletak pada bagian pendahuluan sebuah tulisan ilmiah. Sebagai pengantar, pendahuluan adalah tempat yang tepat untuk mengundang pembaca secara perlahan-lahan dalam meresapi tulisan kita. Biasanya, konteks besar penelitian kita diungkapkan pada bagian ini.
Misalnya, ketika sedang meneliti atau menganalisis puisi “Aku” karya Chairil Anwar, kita bisa mengawali karya ilmiah dengan menjelaskan keadaan kesusastraan Indonesia pada angkatan ‘45. Kemudian, masih pada bagian pendahuluan, pembahasan bisa dilanjutkan dengan mengangkat ciri khas Chairil Anwar pada era tersebut dan ketenaran karya-karyanya sampai saat ini. Pada ujung pengantar, tulisan kita makin mengerucut hingga akhirnya menuju pada sebuah pertanyaan yang hendak dijawab melalui bagian isi.
Sebagian orang yang saya kenal merasa kesulitan untuk merumuskan masalah dalam penelitiannya. Padahal, saya yakin, ketika seorang penulis–tanpa paksaan dari orang lain–sudah menentukan topik penelitian, besar kemungkinannya bahwa dia memiliki kegelisahan akan suatu hal. Adalah rasa penasaran yang mampu memicu dia untuk mengupas sebuah masalah dalam karya ilmiah. Dengan demikian, rumusan masalah pun sebetulnya sudah tertanam di dalam benaknya, tetapi sulit untuk dituliskan. Barangkali, inilah mengapa penulis membutuhkan pembaca kedua, entah teman, mentor, atau editor, untuk meluruskan isi kepalanya.
#karyailmiah #rumusanmasalah
Rujukan:
- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2012. Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Nomor 04/E/2012 tentang Pedoman Karya Tulis Ilmiah. Jakarta: Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
- Stenberg, Robert J. dan Karin. 2020. The Psychologist’s Companion: Planning and A Guide to Writing Scientific Papers for Students and Researchers. New York: Cambridge University Press.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Harrits Rizqi