Dalam berkarya, konsistensi merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan. Seorang pengelola media sosial, misalnya, tentu memiliki jadwal serta tenggat yang harus dipenuhi dalam memublikasikan konten. Kita pun tahu bahwa produktivitas sebuah akun—yang tentunya diiringi dengan kualitas konten—dapat melipatgandakan jumlah pengikut di media sosial.
Saya rasa, satu hal yang jarang dibahas mengenai konsistensi ialah stamina. Menulis takarir, artikel, buku, bahkan menerjemahkan teks memerlukan stamina. Sebuah tulisan dalam situs web Differentiated Teaching mendefinisikan stamina dalam menulis sebagai kemampuan untuk menulis secara fokus dan mandiri dalam kurun waktu tertentu tanpa terdistraksi. Daya tahan inilah yang juga menyelamatkan penulis dari rayuan untuk menyerah.
Amanda Werner, seorang perancang kurikulum dan pengajar bahasa Inggris, memaparkan beberapa petunjuk apabila kita hendak meningkatkan stamina dalam menulis. Salah satunya cobalah hitung berapa lama kita kuat menulis. Misalnya, dalam satu jam, kita mampu menuliskan tiga ratus kata. Lalu, tetapkanlah target. Pekan depan, tuliskanlah lima ratus kata dalam waktu satu jam, contohnya.
Kiat yang dipaparkan Werner mungkin terasa tidak asyik. Seolah-olah, menulis merupakan perlombaan. Bisa-bisa, seorang penulis malah berfokus pada selesai atau tidaknya tulisan, alih-alih mutu karya itu sendiri. Bagi saya, menulis bukanlah lomba sprint. Menulis merupakan maraton tanpa lawan. Sebagaimana maraton yang menuntut pelari untuk mengatur napas dengan teratur, seorang penulis pun sebaiknya mampu mengorganisasi jadwal dengan baik. Dengan kata lain, pilihlah waktu dan tempat terbaik yang bisa memicu produktivitas kita sebagai penulis. Biasanya, stamina saya begitu penuh ketika menulis pada pagi hari. Apabila jenuh di rumah, saya akan menulis di kedai kopi.
Konsistensi memang diperlukan, apalagi di era digital ketika puluhan bahkan ratusan konten atau tulisan diproduksi setiap hari. Namun, jangan lupa, kedisiplinan berkarya sebaiknya ditopang dengan stamina yang prima. Berolahraga pun dapat membantu kita untuk mengasah daya tahan tubuh dalam menulis. Haruki Murakami, misalnya, adalah seorang penulis asal Jepang yang rajin berlari untuk menjaga stamina fisiknya. Dalam sebuah tulisan, Anton Kurnia menyatakan, “Menurut Murakami yang kini berusia lanjut, tapi tampak awet muda, sebagian besar cara menulis fiksi dia pelajari dari berlari setiap hari. Setiap hari rata-rata ia berlari sejauh 10 kilometer. Dengan itu ia bisa menjaga kebugaran fisiknya. Kebugaran fisik penting agar dapat berkonsentrasi dan fokus dalam menulis novel yang terkadang bisa setebal lebih dari 500 halaman.”
#stamina #menulis
Rujukan:
- Differentiated Teaching. “Building Writing Stamina with Daily Writing Activities”. Diakses pada 19 Mei 2022.
- Kurnia, Anton. 2017. “Mitos Penulis dan Stamina Berkarya”. Deutsche Welle. Diakses pada 19 Mei 2022.
- Werner, Amanda. “Building Writing Stamina”. Amanda Write Now. Diakses pada 19 Mei 2022.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin