Kemajuan teknologi tidak dapat dihindari. Lini masa media sosial saya, khususnya Twitter, marak dengan pemberitaan mengenai kecerdasan buatan (artificial intelligence). Beberapa dari kita mungkin mulai ketar-ketir, khawatir posisi kita dalam dunia pekerjaan akan segera tergantikan.
ChatGPT, sebuah kecerdasan buatan yang dikembangkan OpenAI, memungkinkan kita untuk menulis dengan begitu praktis. Namun, saya, sebagai orang yang mencari upah dengan menulis, tidak terlalu memusingkan munculnya ChatGPT. Saya percaya bahwa apa yang dibuat oleh manusia hanya dapat ditiru sebagian oleh robot. Robot tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran manusia.
Dalam menyusun tulisan ini, saya mencoba untuk menggunakan ChatGPT. Untuk pertama kalinya saya membuka chat.openai.com. Saya bertanya kepada robot ini, “How to differentiate writings by you and human?” ChatGPT menjawab, sebagai kecerdasan buatan berbasis bahasa, ia memiliki kompetensi menulis dalam hal konsistensi dan kecepatan. Ketiadaan saltik dan kecepatan respons merupakan kelebihan yang ChatGPT tawarkan.
Namun, pada penjelasan berikutnya, ChatGPT mengaku bahwa ia hanya bekerja berdasarkan pola yang terekam dalam internet. Dengan kata lain, ia tidak menawarkan ide orisinal atau memiliki hasrat untuk bereksplorasi. Selain itu, jawaban ChatGPT yang terakhir adalah “I do not have emotions, so my writings may lack the emotional depth and nuance of human writing.” Benar, ChatGPT tidak mempunyai perasaan. Tentu, rasa merupakan elemen yang membedakan satu penulis dengan penulis lainnya. Dalam hal ini, robot kalah telak.
Pembahasan ini, saya kira, bakal tambah menarik apabila kita mengerucutkan jenis tulisannya. “Apa yang membedakan puisi buatanmu dengan puisi buatan manusia?” tanya saya. Jawaban ChatGPT kurang lebih sama. Ia mengaku bahwa pengalaman internal, empati, kreativitas serta eksplorasi, dan karakteristik adalah faktor-faktor yang membentuk tulisan manusia.
Seorang psikolog kognitif dan penyair asal Amerika, Keith Holyoak (2022), menyatakan bahwa “Ketiadaan pengalaman batin membuat AI kekurangan atas sesuatu yang paling dibutuhkan untuk mengapresiasi puisi: rasa kebenaran puitis berdasarkan pengalaman subjektif, bukan realitas objektif.”
Kemudian, salah satu tulisan yang membuka mata saya mengenai puisi buatan manusia dan puisi buatan robot datang dari “Robots Are Writing Poetry, and Many People Can’t Tell the Difference” karya Carmine Starnino (2022). Dia bilang, “There is no superhuman way to write poems because we write them by virtue of being what a computer isn’t: human.” Justru dengan menjadi manusia, kita mampu menulis puisi.
Lagi pula, saya kira tidak semudah itu untuk meminta ChatGPT membuatkan sebuah puisi atau jenis tulisan lainnya. Kita sebagai manusia juga memerlukan kepandaian menulis perintah (prompt) untuk memberikan instruksi. Ke depannya, lowongan pekerjaan AI prompter akan terbuka dengan lebar.
Rujukan:
- Holyoak, Keith. J. 2022. “Can AI Write Authentic Poetry?”. The MIT Press Reader. Diakses pada 4 April 2023.
- Starnino, Carmine. “Robots Are Writing, and Many People Can’t Tell the Difference”. The Walrus. Diakses pada 4 April 2023.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin