Berkenalan dengan Jurnalisme Telaten

oleh Yudhistira
Ilustrasi jurnalisme telaten

Beberapa hari yang lalu, saya membaca cuitan Evi Mariani, seorang jurnalis, pendiri, dan pemimpin umum pada Project Multatuli. Dia bilang, “Jurnalisme telaten, (slow journalism) bisa jd solusi. Lalu infonya dibikin menarik, biar org mau baca meski panjang.” Beliau melanjutkan, “Skrg ini kita didera information clutter, awul-awulan informasi, seliweran di medsos, barengan dg org adu pendapat ttg sepatu, table manner, carbonara, dsb. Media harus ngasih ruang ke jurnalis utk menulis hal yg bisa ngasih jeda, bahan merenung utk berbagai topik.”

Saya jadi penasaran, apa sebetulnya jurnalisme telaten atau slow journalism?

Berdasarkan riset yang saya lakukan, term itu diduga pertama kali dicetuskan oleh Susan Greenberg pada 2007:

At the luxury end, there should be a growing market for essays, reportage and other non-fiction writing that takes its time to find things out, notices stories that others miss, and communicates it all to the highest standards:slow journalism.’”

Kebanyakan dari kita, saat ini, masih terbiasa untuk mengonsumsi produk-produk jurnalisme yang singkat, yang bisa dibaca, didengar, dan ditonton dalam waktu yang sebentar. Tentu hal itu tidak terlepas dari rentang perhatian manusia yang kerap dikatakan makin menyempit.

Jurnalisme telaten menawarkan pengalaman yang berbeda ketimbang jurnalisme cepat (fast journalism). Megan Le Masurier (2019) dalam tulisannya memaparkan beberapa ciri jurnalisme telaten, yaitu

  1. berpegangan pada sifat kolaborasi dan nonkompetitif;
  2. menghindari sensasi;
  3. mempunyai waktu yang lebih untuk pengerjaannya;
  4. berfokus pada cerita-cerita yang jarang diliput media besar, yang relevan dengan komunitas lokal suatu tempat;
  5. sering kali dikemas dalam gaya naratif yang panjang, alih-alih eksposisi singkat;
  6. menaruh perhatian pada sisi kualitas, mencakup akurasi riset, keutuhan konteks, dan mutu produksi;
  7. memperlakukan pembaca, penonton, atau pendengar sebagai asisten produser sehingga terjalin komunikasi serta diskusi yang intens dengan publik; serta
  8. menerapkan transparansi.

Di luar delapan nomor tersebut, ada satu hal penting lagi yang perlu kita ketahui dari jurnalisme telaten, yakni “Slow journalism is not simply or even necessarily about slowing down the pace―it is a transformation of ethics around ‘how’ we consume time; we can go slow, or quickly, as long as the pace is considered and mindful.” Saya rasa, jurnalisme telaten mengajak masyarakat, baik pembuat maupun penikmatnya, untuk memproduksi dan mengonsumsi produk jurnalistik dengan kesadaran penuh.

#jurnalistik #jurnalismetelaten

Rujukan:

  • Greenberg, Susan. 2007. “Slow journalism”. Prospect. Diakses pada 22 Mei 2022.
  • Masurier, Megan Le. 2014. “What Is Slow Journalism?”. Dalam Journalism Practice, Vol. 9, No. 2, hlm. 138–152. Sydney: Routledge.
  • ________________. 2017. “Slow journalism in an age of forgetting”. ABC’s Religion and Ethics. Diakses pada 22 Mei 2022. 

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar